Frensia.id – Di antara banyak isu yang mendominasi percakapan global, krisis lingkungan hidup adalah salah satu yang tak bisa lagi diabaikan. Banjir, polusi, pemanasan global, hingga eksploitasi alam seolah menjadi langganan berita harian. Ironisnya, di negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar seperti Indonesia, kesadaran ekologis masih sering kalah oleh kepentingan jangka pendek.
Quraish Shihab, seorang mufasir yang dikenal dengan pendekatan tafsir kontekstual, mengingatkan bahwa menjaga alam bukan sekadar tanggung jawab sosial, tetapi bagian dari syariat. Dalam Tafsir Al-Misbah, ia menguraikan bahwa ekoliterasi dalam Islam mencakup tiga aspek utama: bumi, flora, dan fauna. Tiga unsur ini bukan sekadar entitas biologis, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang saling terhubung.
Alquran berulang kali menegaskan bahwa kerusakan di bumi adalah akibat ulah manusia sendiri. Dalam Surah Ar-Rum ayat 41 disebutkan: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa ayat ini bukan sekadar peringatan, tetapi juga ajakan untuk merenungkan dampak ekologis dari keserakahan manusia.
Sayangnya, manusia modern sering kali bersikap kontradiktif. Kita menangisi bencana alam, tetapi abai terhadap akar masalahnya. Kita mengecam pencemaran lingkungan, tetapi tetap boros dalam konsumsi energi. Dalam konteks ini, tafsir Quraish Shihab menjadi relevan: kesadaran ekologis bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal moralitas.
Ia mengkritik eksploitasi alam tanpa batas sebagai bentuk fasad—kerusakan yang merusak keseimbangan ciptaan Tuhan. Dalam tafsirnya terhadap Surah Al-A’raf ayat 56, ia menekankan bahwa merusak satu bagian dari bumi sama dengan merusak keseluruhan ekosistem. Dalam istilah hari ini, mungkin bisa kita sebut sebagai efek domino: deforestasi yang memicu banjir, pencemaran yang merusak rantai makanan, dan emisi karbon yang mempercepat perubahan iklim.
Namun, menariknya, Quraish Shihab tidak melihat eksploitasi sumber daya sebagai sesuatu yang mutlak terlarang. Ada situasi di mana “pengrusakan” bisa menjadi bagian dari perbaikan, seperti penebangan pohon yang menghalangi akses jalan atau intervensi ekologi untuk mencegah bencana yang lebih besar. Baginya, yang menentukan bukan sekadar tindakannya, tetapi dampak akhirnya—apakah membawa maslahat atau malah memperparah kehancuran.
Pandangan ini mestinya menjadi pegangan dalam kebijakan lingkungan di Indonesia. Banyak kebijakan yang diklaim sebagai langkah maju, tetapi dalam praktiknya justru melanggengkan eksploitasi. Kasus revisi UU Minerba, misalnya, yang sempat membuka peluang bagi kampus untuk mengelola tambang. Kabar bahwa regulasi ini akhirnya batal memang membawa sedikit kelegaan, tetapi tetap menyisakan pertanyaan: apakah kita benar-benar belajar dari kesalahan?
Dalam Islam, menjaga alam bukan hanya soal regulasi, tetapi juga kesadaran kolektif. Tanggung jawab ini tidak hanya ada di pundak pemerintah, tetapi juga individu, komunitas, dan seluruh umat manusia. Jika Quraish Shihab menempatkan ekologi dalam bingkai tafsir, maka tugas kita adalah menerjemahkan gagasan itu ke dalam tindakan nyata.