Ekoteologi Dan Iman Yang membumi

Selasa, 20 Mei 2025 - 20:22 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id- Dunia sedang menghadapi lanskap krisis ekologis global. Pemanasan global, kerusakan hutan, krisis air, pencemaran laut, hingga kepunahan spesies tak lagi menjadi isu masa depan, melainkan kenyataan yang berlangsung hari ini. Ironisnya, di tengah kegentingan tersebut, banyak tradisi keagamaan masih terfokus pada keselamatan individual, alih-alih kelestarian bumi sebagai rumah bersama.

Buku Ecology and Religion (2014) karya John Grim dan Mary Evelyn Tucker menjadi upaya penting untuk membangun jembatan antara agama dan kesadaran ekologis. Mereka memperkenalkan konsep religious ecology, yang dalam konteks Indonesia dapat diterjemahkan sebagai eko-teologi: cara agama menata kembali hubungan manusia dengan alam, melalui orientasi spiritual, ritual, dan etika keberlanjutan.

Eko-teologi bukan menambahkan isu lingkungan ke dalam agama, melainkan menggali kembali akar spiritualitas ekologis yang sudah lama terbenam. Dalam Islam, konsep khalifah fil ardh menegaskan mandat manusia sebagai penjaga bumi. Dalam Kekristenan, muncul gerakan Creation Care yang menafsir ulang dominasi menjadi perawatan ciptaan. Konfusianisme mengajarkan harmoni antara manusia dan semesta. Dalam tradisi lokal dan masyarakat adat, tanah dan air diposisikan sebagai entitas spiritual, bukan sekadar sumber daya.

Baca Juga :  Memenuhi Undangan Allah

Sayangnya, modernitas dan kapitalisme telah mendorong agama menjauh dari dimensi ekologisnya. Ritual tetap dilakukan, tapi makna keterhubungan dengan alam memudar. Agama lalu dituduh diam, bahkan ikut membenarkan eksploitasi atas nama “berkat Tuhan”.

Grim dan Tucker tidak menafikan bahwa agama memiliki sisi kelam dalam sejarah ekologis. Namun mereka menekankan bahwa agama juga punya kekuatan transformatif. Di sinilah muncul peran ekoteolog: sosok-sosok dari berbagai tradisi agama yang berani menafsirkan ulang teks dan doktrin dengan keberpihakan pada kelestarian ciptaan. Mereka tidak hanya berkhotbah tentang surga, tetapi juga tentang bumi yang harus diselamatkan di sini dan kini.

Di sinilah pentingnya membumikan eko-teologi sebagai bagian dari kebijakan publik. Indonesia punya posisi unik. Selain sebagai negara megabiodiversitas, kita juga rumah bagi umat beragama terbesar di dunia. Maka, bila kesadaran ekologis bertemu dengan basis moral dan spiritual keagamaan, transformasi sosial bukan utopia.

Langkah konkret ke arah itu mulai tampak. Penguatan Ekoteologi telah ditetapkan sebagai salah satu program prioritas Kementerian Agama periode 2025–2029, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 244 Tahun 2025. Kebijakan ini menegaskan bahwa seluruh ASN Kementerian Agama wajib mengimplementasikan ekoteologi dalam program kerja maupun dalam perilaku sehari-hari.

Baca Juga :  Kebangkitan Kretek: Antara Selera Pasar Dan Celah Regulasi

Inisiatif ini menjadi semakin bermakna di bawah kepemimpinan Prof. Nasaruddin Umar, yang dikenal memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Salah satu program unggulannya adalah menanam satu juta pohon oleh seluruh keluarga besar Kementerian Agama. Gerakan ini bukan sekadar simbolis, melainkan wujud konkret dari integrasi spiritualitas dan keberlanjutan ekologis.

Inilah saatnya agama tidak hanya menjadi pelipur lara, tetapi juga motor perubahan. Saat liturgi bertemu ekologi, saat doa menjelma aksi, maka agama kembali pada perannya sebagai penjaga kehidupan. Karena pada akhirnya, menyelamatkan bumi bukan hanya tugas saintis atau aktivis, tapi panggilan moral seluruh umat beriman.

Jika bumi adalah kitab terbuka ciptaan Tuhan, maka merusaknya adalah bentuk kemurtadan ekologis. Dan eko-teologi adalah jalan tobatnya.*

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Ramalan Il Principe
Legitimasi Sistem Pendidikan
Kepemimpinan dan Pembangunan Nasional: Untuk Rakyat Atau Elit?
Setiap Putaran untuk Sebuah Mimpi: Kisah Dira, Remaja Jember yang Berlari Demi Orang Tuanya
Kebangkitan Kretek: Antara Selera Pasar Dan Celah Regulasi
Ganti Menteri, Kenapa Harus Ganti Kurikulum?
Kematian Agama dan Panggung Derita Buruh
Menata Ulang Posyandu

Baca Lainnya

Selasa, 20 Mei 2025 - 20:22 WIB

Ekoteologi Dan Iman Yang membumi

Minggu, 18 Mei 2025 - 17:59 WIB

Legitimasi Sistem Pendidikan

Kamis, 15 Mei 2025 - 13:45 WIB

Kepemimpinan dan Pembangunan Nasional: Untuk Rakyat Atau Elit?

Kamis, 8 Mei 2025 - 16:51 WIB

Setiap Putaran untuk Sebuah Mimpi: Kisah Dira, Remaja Jember yang Berlari Demi Orang Tuanya

Rabu, 7 Mei 2025 - 11:58 WIB

Kebangkitan Kretek: Antara Selera Pasar Dan Celah Regulasi

TERBARU

Kolomiah

Ekoteologi Dan Iman Yang membumi

Selasa, 20 Mei 2025 - 20:22 WIB