Frensia.id – Beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan sisi humanisnya. Di tengah wawancara eksklusif dengan enam pemimpin redaksi media besar, ia menyatakan dukungannya terhadap penyitaan aset koruptor, tapi dengan satu catatan: “Jangan sampai anak dan keluarga si koruptor ikut menderita.”
Ini pernyataan yang menarik—dan layak dicatat dalam sejarah hukum keluarga baru: hukum yang ramah keluarga koruptor. Dalam logika Pak Prabowo, dosa tak boleh diturunkan dari orang tua kepada anak. Dan ini, kalau dibawa ke pengajian RT atau obrolan warung kopi, bisa memancing dua reaksi: anggukan setuju dari yang belum pernah korupsi, dan tawa kecil dari yang sudah menikmati hasilnya.
Masalahnya, dunia nyata tidak selalu seindah teori moral. Dalam korupsi, keluarga bukan sekadar korban pasif. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) dari 2015 hingga 2023 menunjukkan ada 46 kasus korupsi yang melibatkan anggota keluarga. Bukan sekadar numpang nama, tapi ikut aktif mengelola, mengatur aliran dana, bahkan membangun kerajaan bisnis dari uang rakyat.
Maka, jangan heran bila anak koruptor bisa sekolah di luar negeri, di sekolah elit dalam negeri, atau bahkan masuk kampus terbaik tanpa gusar memikirkan biaya. Uang saku lancar, pakaian sekolah rapi, gawai terbaru ada di tangan, dan semua perlengkapan sekolah lengkap tanpa harus menabung dari jauh-jauh hari.
Bandingkan dengan anak dari guru honorer di desa, atau anak petani penyewa lahan sempit, yang sejak pagi sudah harus memilih: beli buku atau beli nasi. Mereka tidak pernah melihat bentuk kartu kredit. Bahkan untuk seragam sekolah pun harus menunggu bantuan dari kepala desa.
Lalu, masih pantaskah kita bersimpati pada anak koruptor yang sudah jelas menikmati hasil uang haram itu?
Begitu juga istri sang koruptor. Ia mungkin tak pernah bersinggungan dengan ruang sidang atau pasal-pasal hukum, tapi ia juga tidak pernah bersusah-payah menjadi kuli panggul atau pembantu rumah tangga. Ia tidak perlu jualan kaki lima di pinggir sekolah sambil menggendong anak. Ia bisa hidup nyaman, beristirahat di rumah mewah, dengan makanan lezat, mobil kinclong, bahkan liburan ke luar negeri, tanpa tahu dari mana semua itu berasal—atau pura-pura tidak tahu.
Di luar sana, istri guru honorer harus ikut menyumbang penghasilan keluarga dengan menjahit, berdagang kecil-kecilan, atau menjadi buruh harian. Istri nelayan harus berhemat agar suami yang pulang membawa ikan bisa tetap merasa berharga. Istri petani harus memastikan setiap lembar uang bisa dipecah lima untuk keperluan dapur, sekolah anak, dan obat orang tua yang mulai renta.
Ironinya, justru mereka-lah yang tidak pernah mencicipi hasil dari uang negara. Karena uangnya sudah lebih dulu mampir ke rekening pribadi para koruptor dan keluarganya.
Kita tentu tidak ingin menghakimi niat baik Presiden Prabowo. Tapi bangsa ini perlu presiden yang lebih tega pada ketidakadilan daripada pada keluarga koruptor. Apalagi kalau keluarga itu sudah ikut makan semeja saat uang rakyat disajikan.
Kita tak bisa terus hidup dalam narasi “kasihan keluarga koruptor.” Karena dari sinilah sistem keadilan kita bisa bengkok: yang mencuri uang rakyat dimaafkan karena keluarganya baik-baik, tapi yang mencuri sendal karena lapar dihukum karena tak ada yang membelanya.
Kalau begini terus, jangan salahkan rakyat kalau nanti muncul ironi baru: Lebih enak jadi anak koruptor daripada anak guru honorer. Karena anak koruptor dapat rumah, mobil, perlindungan hukum dan moral dari negara. Sementara anak guru honorer hanya mewarisi harapan dan hutang.
Jadi kalau Anda tanya, enaknya jadi keluarga koruptor apa? Jawabannya sederhana: tinggal bilang “Itu bukan salah saya, itu bapak saya.” Lalu tetap hidup enak dari hasil kejahatannya.
Kita tak butuh dendam, tapi jangan juga terlalu gampang memaafkan. Karena negara yang terlalu lembut pada koruptor, biasanya sangat keras pada yang miskin. Sudah saatnya negara berpihak pada mereka yang hidup jujur, bukan pada mereka yang pandai pura-pura tidak tahu dari mana kekayaannya berasal. Semoga *