Frensia.id – Musik hardcore kerap diidentikkan dengan energi yang eksplosif dan sikap pemberontakan. Namun, stereotip negatif mengenai perilaku vandalisme yang sering dikaitkan dengan penggemar musik ini menarik perhatian akademisi.
Benarkah para penggemar musik hardcore lebih cenderung melakukan vandalisme? Atau ini hanya sekadar stigma tanpa dasar ilmiah?
Pertanyaan tersebut pernah dijawab melalui sebuah penelitian akademis yang dilakukan oleh Ghalib Muhammad FASA dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Temuannya telah dipublikasi tahun 2020 kemarin.
Penelitian ini tertuang dalam karya ilmiah berjudul “Perilaku Remaja Penggemar Musik Hardcore Dalam Aktivitas Vandalisme” yang fokus pada komunitas musik hardcore di Wedi, Kabupaten Klaten.
Penelitian ini mengkaji perilaku vandalisme di kalangan remaja penggemar musik hardcore, khususnya komunitas Heavin Fun.
Fokus penelitian ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami faktor-faktor yang mendorong perilaku tersebut.
Menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus, penelitian ini melibatkan observasi langsung dan wawancara dengan para penggemar, musisi, dan panitia penyelenggara acara Gig’s di komunitas tersebut.
Metode Purposive Sampling digunakan untuk menentukan responden yang dianggap mampu memberikan informasi relevan.
Dari hasil pengamatan, ditemukan bahwa perilaku vandalisme di kalangan penggemar musik hardcore ini dipengaruhi oleh faktor konformitas. Konformitas merupakan sikap penyesuaian diri terhadap norma dan nilai yang berlaku dalam kelompok.
Dalam konteks ini, remaja penggemar musik hardcore terdorong untuk meniru perilaku yang dianggap “keren” dan mendapat pengakuan dari lingkungan komunitasnya.
Selain itu, kebutuhan akan pengakuan dan penerimaan sosial dalam komunitas hardcore menjadi faktor pendorong utama.
Mereka merasa bahwa perilaku vandalisme adalah cara untuk menunjukkan eksistensi dan loyalitas terhadap komunitas.
Menurut Ghalib Muhammad, perilaku ini tidak sepenuhnya mencerminkan esensi musik hardcore, melainkan lebih kepada ekspresi konformitas dan pencarian identitas diri.
Musik hardcore sendiri pada dasarnya adalah media ekspresi perlawanan dan kemarahan terhadap ketidakadilan sosial.
Namun, penerjemahan pesan ini dalam bentuk tindakan vandalisme bukanlah sesuatu yang inheren dalam budaya hardcore itu sendiri.
Penelitian ini membuka wawasan mengenai stigma sosial yang sering dilekatkan pada komunitas musik hardcore.
Tidak semua penggemar musik ini melakukan vandalisme, dan tidak semua perilaku vandalisme dipicu oleh genre musik yang mereka sukai.
Stigma negatif ini dapat berdampak pada perlakuan diskriminatif dari masyarakat umum. Oleh karena itu, penting untuk melihat masalah ini secara objektif dan tidak menggeneralisasi perilaku negatif hanya berdasarkan preferensi musik.
Penelitian ISI Yogyakarta ini menegaskan bahwa perilaku vandalisme di kalangan penggemar musik hardcore dipengaruhi oleh faktor konformitas dan kebutuhan pengakuan dalam komunitas.
Namun, hal ini bukanlah representasi dari seluruh penggemar musik hardcore.
Untuk mengurangi stereotip negatif, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam memahami budaya musik hardcore.
Selain itu, perlu adanya edukasi sosial dan pendekatan preventif yang melibatkan komunitas dalam menciptakan lingkungan yang positif dan produktif.
Penelitian ini juga mengingatkan kita bahwa preferensi musik tidak dapat dijadikan satu-satunya indikator perilaku sosial seseorang.
Stigma dan stereotip hanya akan memperdalam jurang perbedaan tanpa memberikan solusi yang konstruktif.