FRENSIA.ID- Menjelang akhir tahun, pencarian tontonan berkualitas bertema liburan seringkali menjadi ritual tersendiri bagi keluarga. Di antara deretan film blockbuster modern, terdapat sebuah permata tersembunyi dari era 90-an yang tidak hanya menawarkan gelak tawa, tetapi juga kedalaman makna yang diadaptasi dari karya sastra klasik.
Film tersebut adalah “Christmas Every Day”, sebuah tayangan fantasi-komedi televisi yang dirilis pada tahun 1996. Film ini mengisahkan kekacauan, keajaiban, dan pembelajaran hidup yang dibungkus dalam suasana Natal yang kental, menjadikannya rekomendasi tontonan yang sangat relevan untuk dinikmati kembali saat ini.
Kisah ini berlatar di kota fiksi Greenwood Falls, Virginia, sebuah wilayah yang tenang di luar Washington, D.C. Fokus cerita berpusat pada Billy Jackson, seorang remaja egois yang diperankan dengan apik oleh Erik von Detten. Kehidupan Billy berubah drastis menjadi sebuah mimpi buruk yang berulang ketika adik perempuannya, Sarah, yang diperankan oleh Yvonne Zima, mengucapkan permohonan polos namun fatal agar setiap hari menjadi hari Natal.
Keajaiban itu benar-benar terjadi, memaksa Billy untuk bangun dan menjalani tanggal 25 Desember yang sama secara terus-menerus. Awalnya, konsep ini mungkin terdengar menyenangkan bagi anak-anak, namun bagi Billy, ini adalah siklus penyiksaan yang memaksanya menghadapi masalah yang sama tanpa henti.
Narasi film ini menjadi sangat menarik karena Billy tidak hanya sekadar membuka kado yang sama. Ia harus menghadapi serangkaian konflik yang menguji kesabarannya, mulai dari menghadapi penindas atau bully di sekolahnya setiap pagi, hingga terlibat dalam sengketa bisnis keluarganya.
Ayahnya, yang merupakan seorang pedagang kelontong lokal, sedang berjuang melawan pamannya yang serakah, diperankan oleh Robert Curtis Brown. Sang paman berambisi membangun sebuah mega-store yang akan menghancurkan pedagang-pedagang kecil lokal. Dalam pengulangan hari yang melelahkan itulah, Billy perlahan belajar memahami arti sebenarnya dari semangat liburan, keluarga, dan kepedulian terhadap sesama, jauh melampaui sekadar hadiah materi.
Secara produksi, film yang disutradarai oleh Larry Peerce ini memiliki tempat khusus dalam sejarah penyiaran televisi Amerika. Ditayangkan perdana di The Family Channel pada 1 Desember 1996, film ini menjadi bagian dari blok pemrograman “25 Days of Christmas” yang legendaris.
Popularitas premis ceritanya bahkan memicu pembuatan ulang atau remake pada tahun 2006 dengan judul “Christmas Do-Over”. Musik yang digarap oleh Billy Goldenberg serta akting pendukung dari aktor senior seperti Robert Hays dan Bess Armstrong sebagai orang tua Billy, memberikan nuansa hangat yang membuat film ini tetap nyaman ditonton puluhan tahun setelah perilisannya.
Namun, daya tarik “Christmas Every Day” tidak berhenti pada aspek hiburannya saja. Film ini memiliki akar sastra yang kuat karena diadaptasi dari cerita pendek berjudul sama karya William Dean Howells yang diterbitkan pada tahun 1892. Kedalaman cerita aslinya bahkan menarik perhatian dunia akademis Indonesia baru-baru ini.
Sebuah riset mendalam dilakukan oleh akademisi dari Universitas Udayana, Evania Angelica, bersama rekan-rekannya yang diterbitkan pada tahun 2024 dalam Langua: Journal of Linguistics, Literature, and Language Education.
Kajian akademis tersebut membedah karya ini sebagai sebuah sastra yang kompleks. Dalam penelitiannya, Evania Angelica dan tim menemukan bahwa cerita ini membangun narasinya melalui dua jenis konflik utama yang sangat krusial untuk dipahami audiens, yaitu konflik internal dan konflik eksternal. Temuan studi mereka mengklasifikasikan adanya satu data kuat yang mencerminkan pergulatan batin atau konflik internal karakter, serta tiga data yang dikategorikan sebagai konflik fisik.
Analisis ini memberikan perspektif baru bahwa di balik komedi pengulangan waktu, terdapat lapisan psikologis di mana karakter utamanya berjuang melawan egonya sendiri dan tantangan fisik di sekitarnya. Menariknya, penelitian tersebut mencatat bahwa konflik sosial tidak ditemukan dalam struktur cerita pendek aslinya, menandakan bahwa fokus utama Howells memang pada perjalanan personal sang tokoh dalam merespons lingkungan terdekatnya.
Kombinasi antara hiburan visual yang jenaka ala tahun 90-an dan bobot sastra yang telah teruji zaman menjadikan “Christmas Every Day” menjadi salah satu film yang mengajarkan penonton bahwa perubahan sejati seringkali dimulai dari introspeksi diri yang mendalam. Bahkan, jika itu harus melalui proses yang berulang-ulang.







