Frensia. Id – Friksi terbuka antara Bupati Jember Muhammad Fawait dan Wakil Bupati Djoko Susanto yang berujung pada pengaduan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengingatkan kita pada rapuhnya relasi kepala daerah dan wakilnya di banyak wilayah. Fenomena ini bukan sekadar pertarungan personal, melainkan cermin dari problem hukum tata negara, tata kelola pemerintahan, dan etika politik lokal.
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan tugas wakil kepala daerah: membantu kepala daerah dalam memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan, mengoordinasikan perangkat daerah, menindaklanjuti laporan hasil pengawasan, hingga menggantikan kepala daerah bila berhalangan. Norma ini memperlihatkan bahwa wakil bukanlah sekadar simbol seremonial, melainkan bagian yang tak terpisahkan dari eksekutif daerah.
Karena itu, ketika wakil kepala daerah merasa diabaikan, persoalannya bukan lagi sebatas ego politik. Ia bergeser menjadi problem pelaksanaan hukum dan mandat rakyat. Rakyat memilih pasangan bupati–wakil bupati, bukan dua individu yang boleh berjalan sendiri-sendiri. Mengabaikan wakil sama artinya dengan mereduksi amanah publik.
Namun, berbeda gagasan antara bupati dan wakilnya bukanlah hal tabu. Perbedaan strategi pembangunan atau kebijakan bisa menjadi dinamika kepemimpinan yang sehat. Dalam sejarah, Abu Bakar dan Umar sering berbeda pandangan, tetapi justru perbedaan itu memperkaya pemerintahan Islam.
Di Indonesia, Soekarno dan Hatta pun kerap berselisih tafsir mengenai arah bangsa. Tetapi baik dalam sejarah klasik maupun modern, semuanya akhirnya tunduk pada prinsip: kepentingan rakyat harus lebih tinggi daripada ego personal.
Dengan demikian, perbedaan gagasan adalah wajar, bahkan sah secara hukum dan sejarah. Yang tidak wajar adalah pengabaian dan pengucilan. Demokrasi elektoral menempatkan bupati dan wakilnya sebagai pasangan, bukan lawan. Maka amanat rakyat seharusnya memaksa keduanya melebur dalam visi pelayanan publik.
Praktik politik lokal menunjukkan bahwa disharmoni bupati–wakil bupati sering lahir dari kompromi elektoral yang rapuh sejak awal. Pasangan kepala daerah kerap dipersatukan oleh kalkulasi politik, bukan kesamaan visi. Setelah menjabat, loyalitas kepala daerah lebih banyak diarahkan pada jaringan pendukungnya, sementara wakil sering dibiarkan tanpa ruang aktualisasi. Situasi ini, boleh jadi, juga turut mewarnai hubungan kepemimpinan di Jember.
Dalam perspektif good governance, friksi semacam ini berbahaya. Prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan orientasi konsensus sulit berjalan. Jika kepala daerah menutup ruang bagi wakilnya, maka pengawasan internal melemah, kebijakan publik kehilangan keseimbangan, dan pelayanan masyarakat menjadi korban.
Merilee Grindle, melalui gagasan good enough governance, mengingatkan bahwa tata kelola yang sehat bukan hanya soal prosedur formal, melainkan juga soal kemampuan aktor politik menjaga keseimbangan kekuasaan dan kepercayaan publik. Ketika friksi dibiarkan, wajah tata kelola daerah tampak buram: prosedur jalan, tetapi substansi demokrasi tidak hadir.
Idealnya, konflik antara bupati dan wakilnya tidak perlu berakhir di meja KPK. Mekanisme penyelesaian internal pemerintahan daerah, termasuk melalui DPRD sebagai lembaga pengawas, seharusnya menjadi jalan pertama. Namun, realitas memperlihatkan lemahnya fungsi check and balances di tingkat lokal. Akibatnya, saluran eksternal seperti KPK, gubernur, atau Mendagri menjadi pilihan, meski dengan segala konsekuensi politiknya.
Ke depan, ada dua hal penting yang perlu dipikirkan. Pertama, memperkuat regulasi agar peran wakil kepala daerah tidak sepenuhnya tergantung pada kehendak kepala daerah. Ruang kewenangan wakil perlu dirumuskan lebih operasional, sehingga fungsi pengawasan internal bisa berjalan efektif.
Kedua, membangun budaya politik baru di tingkat lokal. Demokrasi bukan hanya soal dipilih secara langsung, melainkan juga soal bagaimana mengelola perbedaan dengan etika, kedewasaan, dan tanggung jawab.
Kasus Jember memberi pelajaran penting: bupati dan wakil bupati boleh berbeda pendapat, boleh berselisih strategi, tetapi bila menyangkut kepentingan rakyat, keduanya harus bersatu. Perbedaan adalah wajar, pengabaian adalah masalah. Dan rakyat hanya menunggu satu hal: kepemimpinan yang bersatu demi kesejahteraan bersama.
Apalagi masyarakat masih ingat wajah keduanya yang tersenyum lebar pada hari pelantikan. Senyum itu bertahan di baliho, di spanduk, di poster kampanye—seolah langit politik daerah cerah tanpa mendung. Kini, senyum itu barangkali tinggal hiasan lapuk dimakan hujan. Padahal, senyum semacam itu sejatinya bukan kosmetik politik belaka. Ia adalah janji yang, suka tidak suka, harus dibayar dengan keringat pengabdian.
Kalau senyum kampanye itu habis dimakan angin, biarlah. Tapi jangan sampai amanah rakyat ikut habis dimakan senyum palsu. Sebab friksi bupati–wabup bukan sekadar drama politik lokal, melainkan potret buram tata kelola daerah kita yang harus segera diperbaiki.*