Gas LPG 3 Kg dan Cita Hukum yang Terlupakan

Selasa, 4 Februari 2025 - 15:51 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id- Baru saja dilarang, kini pengecer gas elpiji 3 kg kembali diperbolehkan berjualan. Drama kebijakan ini kembali membuktikan bahwa pemerintah masih gemar mengeluarkan aturan tanpa kalkulasi matang. Seperti pemain catur yang gegabah menggerakkan pion tanpa membaca langkah lawan, keputusan ini diambil tanpa perhitungan mendalam, buru-buru dikoreksi pasca menimbulkan kekacauan.

Kisruh kebijakan larangan pengecer menjual elpiji 3 kg yang berujung pada pencabutan dalam waktu singkat ini mengingatkan kita pada satu hal: bagaimana hukum sering kali dibuat tanpa keseimbangan antara keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Gustav Radbruch, filsuf hukum asal Jerman, menyebut bahwa hukum yang baik harus mencerminkan tiga nilai utama: gerechtigkeit (keadilan), rechtssicherheit (kepastian hukum), dan zweckmäßigkeit (kemanfaatan). Ketiganya harus berjalan beriringan. Jika hanya satu yang dikejar sementara yang lain diabaikan, maka hukum justru kehilangan maknanya.

Larangan pengecer menjual elpiji 3 kg sejatinya berangkat dari niat baik: memastikan subsidi tepat sasaran dan menekan harga yang kerap melambung di tangan pengecer. Dalam hal ini, pemerintah tampaknya ingin mengejar aspek keadilan dengan memastikan subsidi gas benar-benar dinikmati oleh masyarakat miskin, bukan oleh pihak yang tidak berhak.

Baca Juga :  Viral RUU TNI, Ternyata Munir Juga Menolak Militerisme

Namun, apakah kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan aspek kepastian dan kemanfaatan?

Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Begitu larangan diberlakukan, terjadi antrean panjang. Bahkan, akibat kelelahan mengantre gas, seorang warga RT 001/RW 007 Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, bernama Yonih dikabarkan meninggal.

Masyarakat kecil yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru semakin kesulitan mendapatkan gas bersubsidi. Di sinilah kita melihat bahwa kebijakan ini gagal menghadirkan kepastian hukum. Alih-alih memberi rasa tenang, aturan ini justru menimbulkan ketidakpastian baru.

Lalu bagaimana dengan aspek kemanfaatan? Sebuah aturan dibuat tentu bukan hanya agar terlihat ideal di atas kertas, tetapi juga harus bisa diimplementasikan dengan baik dan membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Jika kebijakan justru menyebabkan keresahan dan kesulitan, maka aturan tersebut kehilangan esensi kegunaannya.

Baca Juga :  Mudik, Kekayaan Spiritual dan Kekayaan Ekonomi

Pencabutan larangan oleh Presiden Prabowo dalam waktu singkat memang bisa dianggap sebagai respons cepat atas kegaduhan yang terjadi. Namun, dari perspektif hukum, ini menegaskan bahwa aturan awal dibuat tanpa kajian matang.

Bagaimana mungkin sebuah kebijakan nasional yang menyangkut hajat hidup orang banyak bisa dibatalkan dalam hitungan hari? Ini menunjukkan bahwa sejak awal regulasi tersebut tidak memiliki fondasi yang kuat.

Kasus elpiji 3 kg ini adalah contoh nyata bagaimana kebijakan yang hanya mengejar satu aspek (keadilan dalam subsidi) tanpa memperhitungkan aspek lain (kepastian dan kemanfaatan) justru berakhir dengan kegagalan. Jika pemerintah ingin memperbaiki tata kelola distribusi gas bersubsidi, maka pendekatannya tidak boleh reaktif dan coba-coba.

Sebaliknya, regulasi harus dirancang secara matang, diuji di lapangan, dan disusun dengan mempertimbangkan keseimbangan antara keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sebab, kebijakan yang baik bukan hanya tentang niat baik, tapi juga tentang bagaimana ia bisa diterapkan tanpa menciptakan masalah baru.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Kartini, Lentera Kaum Kecil
Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II
Masa Depan Pendidikan Indonesia: Saatnya Segarkan Kembali Model Oliva
Enaknya Jadi Keluarga Koruptor
Di Liga Champions UEFA, Menang Justru Lebih Melelahkan
Belajar dari Arsenal dan Real Madrid
Dari Puasa (Ramadhan) ke Pembiasaan
Kita Adalah Don Quixote yang Terhijab

Baca Lainnya

Selasa, 22 April 2025 - 19:01 WIB

Kartini, Lentera Kaum Kecil

Kamis, 17 April 2025 - 12:29 WIB

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Rabu, 16 April 2025 - 14:17 WIB

Masa Depan Pendidikan Indonesia: Saatnya Segarkan Kembali Model Oliva

Selasa, 15 April 2025 - 14:46 WIB

Enaknya Jadi Keluarga Koruptor

Kamis, 10 April 2025 - 18:09 WIB

Di Liga Champions UEFA, Menang Justru Lebih Melelahkan

TERBARU

Babi hutan liar saat sudah diburu warga (Sumber foto: istimewa)

Regionalia

Pasutri di Jember Diseruduk Babi Hutan Liar Saat Mandi

Jumat, 25 Apr 2025 - 17:19 WIB

Opinia

Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan

Kamis, 24 Apr 2025 - 21:45 WIB