Frensia.id- Baru saja dilarang, kini pengecer gas elpiji 3 kg kembali diperbolehkan berjualan. Drama kebijakan ini kembali membuktikan bahwa pemerintah masih gemar mengeluarkan aturan tanpa kalkulasi matang. Seperti pemain catur yang gegabah menggerakkan pion tanpa membaca langkah lawan, keputusan ini diambil tanpa perhitungan mendalam, buru-buru dikoreksi pasca menimbulkan kekacauan.
Kisruh kebijakan larangan pengecer menjual elpiji 3 kg yang berujung pada pencabutan dalam waktu singkat ini mengingatkan kita pada satu hal: bagaimana hukum sering kali dibuat tanpa keseimbangan antara keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Gustav Radbruch, filsuf hukum asal Jerman, menyebut bahwa hukum yang baik harus mencerminkan tiga nilai utama: gerechtigkeit (keadilan), rechtssicherheit (kepastian hukum), dan zweckmäßigkeit (kemanfaatan). Ketiganya harus berjalan beriringan. Jika hanya satu yang dikejar sementara yang lain diabaikan, maka hukum justru kehilangan maknanya.
Larangan pengecer menjual elpiji 3 kg sejatinya berangkat dari niat baik: memastikan subsidi tepat sasaran dan menekan harga yang kerap melambung di tangan pengecer. Dalam hal ini, pemerintah tampaknya ingin mengejar aspek keadilan dengan memastikan subsidi gas benar-benar dinikmati oleh masyarakat miskin, bukan oleh pihak yang tidak berhak.
Namun, apakah kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan aspek kepastian dan kemanfaatan?
Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Begitu larangan diberlakukan, terjadi antrean panjang. Bahkan, akibat kelelahan mengantre gas, seorang warga RT 001/RW 007 Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, bernama Yonih dikabarkan meninggal.
Masyarakat kecil yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru semakin kesulitan mendapatkan gas bersubsidi. Di sinilah kita melihat bahwa kebijakan ini gagal menghadirkan kepastian hukum. Alih-alih memberi rasa tenang, aturan ini justru menimbulkan ketidakpastian baru.
Lalu bagaimana dengan aspek kemanfaatan? Sebuah aturan dibuat tentu bukan hanya agar terlihat ideal di atas kertas, tetapi juga harus bisa diimplementasikan dengan baik dan membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Jika kebijakan justru menyebabkan keresahan dan kesulitan, maka aturan tersebut kehilangan esensi kegunaannya.
Pencabutan larangan oleh Presiden Prabowo dalam waktu singkat memang bisa dianggap sebagai respons cepat atas kegaduhan yang terjadi. Namun, dari perspektif hukum, ini menegaskan bahwa aturan awal dibuat tanpa kajian matang.
Bagaimana mungkin sebuah kebijakan nasional yang menyangkut hajat hidup orang banyak bisa dibatalkan dalam hitungan hari? Ini menunjukkan bahwa sejak awal regulasi tersebut tidak memiliki fondasi yang kuat.
Kasus elpiji 3 kg ini adalah contoh nyata bagaimana kebijakan yang hanya mengejar satu aspek (keadilan dalam subsidi) tanpa memperhitungkan aspek lain (kepastian dan kemanfaatan) justru berakhir dengan kegagalan. Jika pemerintah ingin memperbaiki tata kelola distribusi gas bersubsidi, maka pendekatannya tidak boleh reaktif dan coba-coba.
Sebaliknya, regulasi harus dirancang secara matang, diuji di lapangan, dan disusun dengan mempertimbangkan keseimbangan antara keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sebab, kebijakan yang baik bukan hanya tentang niat baik, tapi juga tentang bagaimana ia bisa diterapkan tanpa menciptakan masalah baru.