Frensia.id – Idul Adha identik dengan pemotongan hewan qurban, simbol manusia harus siap melepaskan kecintaan pada dunia, sebab hanya Allah yang layak untuk dicintai. Pada sisi yang bersamaan untuk mengajarkan manusia tidak hanya menikmati kekayaannya sendiri dan bersikap apatis terhadap sesama.
Hari kedua idul adha ini masih masuk pada waktu diperbolehkan menyembelih hewan kurban. Dilansir dari laman resmi baznas.go.id Imam Nawawi menjelaskan bahwa, hari menyembelih hewan kurban adalah pada hari raya idul adha dan pada hari-hari tasyrik atau 10 Dhulhijjah, kemudian 11, 12 dan limitasi akhir 13 Dzulhijjah setelag matahari tergelincir.
Idul Adha adalah perayaan yang sangat erat kaitannya dengan kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Memperingati idul adha tentu tidak hanya sekedar sholat pada hari pertama idul adha dan menyembelih kurban diwaktu yang sudah ditentukan.
Ada konsekuensi yang dibangun memperingati idul adha ini yakni, muslim harus siap ‘menghidupkan’ kembali Nabi Ibrahim dalam keseharian. ‘Menghidupkan’ Nabi Ibrahim dalam konteks Idul Adha berarti membumikan semangat dengan meneladani keteladanan (good example) Nabi yang dijuluki Khalilullah tersebut.
Apalah arti berhari raya idul adha jika hanya sehari saja, itupun hanya menunggu antrian daging kurban, atau hanya gagah-gagahan memposting hewan kurban, tanpa dibarengi niatan menyelami dan meneladani Nabi yang tergolong ulul azmi ini.
Perlu untuk menengok kembali keteladanan Nabi Ibrahim untuk direplay di zaman modern ini, situasi dimana sikap individualisme yang tinggi, meningkatnya kesenjangan masyarakat utamanya di bidang ekonomi dan sosial, kesenjangan teknologi (digital divide) dan seterusnya.
Hal yang bisa ditengok dari eksemplar iktibar Nabi Ibrahim melalui perayaan Idul Adha ini adalah Tauhid dan Ketaatan Total kepada Allah, Nabi Ibrahim adalah arketipe sempurna dari ketaatan total kepada Allah.
Ketika diperintahkan untuk mengorbankan putranya, Ismail, ia tidak ragu sedikitpun meskipun itu merupakan ujian yang sangat berat. Menghidupkan semangat ini berarti menumbuhkan sikap taat dan patuh kepada perintah Allah dalam setiap aspek kehidupan, meskipun terkadang hal itu sulit dan menguji keimanan.
Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail merupakan simbol dari keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah. Pada Idul Adha, umat Muslim diingatkan untuk berkurban sebagai wujud keikhlasan dan kepatuhan. Ini mengajarkan bahwa pengorbanan materi atau waktu untuk kebaikan dan kepatuhan kepada Allah adalah tindakan mulia yang harus dijalankan dengan hati yang ikhlas.
Memberikan sebagian harta merupakan upaya untuk menginjeksi ketergantungan pada materi yang pada gilirannya untuk menghilangkan sikap mentuhankan harta serta menciptakan kesadaran harta yang manusia miliki bersumber dari Allah, sehingga ada ruang untuk bersikap sombong.
Rasionansi dari sikap tersebut menimbulkan Kepedulian Sosial sebagaimana yang diajarkan sang khalilullah. Nabi Ibrahim sangat peduli terhadap orang-orang di sekitarnya. Melalui tindakan berkurban, umat Muslim diajak untuk mencontoh kepedulian sosial Nabi Ibrahim dengan berbagi rezeki kepada yang membutuhkan.
Kepedulian sosial yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim membantu membangun solidaritas dan rasa kebersamaan dalam masyarakat, serta mengurangi kesenjangan sosial yang manjadi ciri modernitas.
Hal tak kalah penting menghidupkan Nabi Ibrahim as di zaman modern ini adalah komitmen terhadap Nilai-nilai Kebenaran. Nabi Ibrahim dikenal sebagai figur (good example) yang tegas dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan menentang kesyirikan. Idul Adha mengingatkan umat Muslim untuk senantiasa menjaga komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan tauhid dalam kehidupan sehari-hari.
Nampaknya pada aspek komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran ini, bangsa indonesia saat ini sedang berada di situasi kebenaran dan keadilan barang yang mulai langka. Rakyat dihadapkan dengan berbagai kebijakan yang kian jauh dari keadilan.
Bagi pembuat kebijakan, memperingati idul adha berarti ‘menghidupkan’ Nabi Ibrahim dengan memproduksi kebijakan yang berkeadilan. Rakyat tentu jauh sejahtera jika pemerintah tidak hanya memberikan hewan kurban, namun kebijakan yang selaras dengan keinginan dan hati nuraninya.
Menghidupkan Nabi Ibrahim pada Idul Adha di zaman modern ini berarti menjadikan nilai-nilai luhurnya sebagai rool model dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, perayaan Idul Adha tidak hanya menjadi ritual tahunan an-sich, namun juga momen penting untuk memperkuat kualitas keimanan, kepedulian sosial serta berkomitmen terhadap kebenaran, keadilan, dan tauhid dalam kehidupan sehari-hari. (*)
*Moh.Wasik (Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)