Frensia.id – Setiap tahun, perayaan Imlek menjadi momen yang dinantikan oleh komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Namun, di Yogyakarta, ada sesuatu yang unik dalam tradisi ini—Imlek dirayakan dengan sentuhan khas yang menggabungkan identitas keagamaan Islam.
Di masjid-masjid dan pengajian-pengajian, tradisi Imlek dipersembahkan bukan hanya sebagai sebuah perayaan etnis, tetapi juga sebagai manifestasi keimanan.
Jurnal Dari Imlek di Mesjid ke Pengajian Imlek karya Rezza Maulana membuka cakrawala baru dalam memahami bagaimana tradisi Tionghoa Muslim di Yogyakarta berkembang, menciptakan ruang publik yang penuh dengan nuansa keberagaman. Penelitian ini menggali lebih dalam bagaimana tradisi tersebut mempengaruhi pembentukan identitas kolektif dan representasi budaya di ruang publik Indonesia.
Penelitian ini mengungkap sebuah fenomena menarik tentang bagaimana komunitas Tionghoa Muslim di Yogyakarta menciptakan tradisi yang mempertemukan dua dunia–keislaman dan kebudayaan Tionghoa. Imlek, yang biasanya diasosiasikan dengan perayaan khas Tionghoa, di Yogyakarta diselenggarakan dengan mengintegrasikan ajaran Islam dalam rangkaian perayaannya.
Sebuah contoh nyata dari dinamika identitas ganda yang berkembang di Indonesia. Menunjukkan Indonesia sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya dan agama.
Melalui pengajian Imlek dan perayaan di masjid, komunitas ini tidak hanya merayakan tahun baru China, tetapi juga menegaskan posisi mereka sebagai Muslim yang juga bagian dari bangsa Indonesia. Penciptaan ruang-ruang publik semacam ini memberi makna baru terhadap penghayatan agama dan budaya yang tidak saling bertentangan, tetapi saling melengkapi.
Sebuah upaya untuk menjembatani kesenjangan antara etnisitas dan agama. Sisi lain memberikan contoh bagi masyarakat Indonesia tentang bagaimana merayakan keberagaman dalam harmoni.
Namun, perayaan ini tidak hanya sekadar pertemuan dua budaya. Lebih dari itu, ia menjadi sarana untuk memperkenalkan tradisi Tionghoa Muslim ke masyarakat luas, menciptakan ruang dialog yang inklusif.
Di sini, pengajian Imlek menjadi simbol kebersamaan dan toleransi. Ketika ruang publik dihiasi dengan pengajian yang terbuka bagi semua kalangan, kita menyaksikan penciptaan ruang sosial yang menumbuhkan rasa saling pengertian antarbudaya dan agama.
Proses representasi tradisi Tionghoa Muslim di ruang publik juga menjadi cara bagi komunitas ini untuk menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat yang lebih besar. Ini adalah bentuk resistansi terhadap marginalisasi identitas etnis dan agama yang sering terjadi. Tradisi ini menjadi cara untuk memperkenalkan keberagaman sebagai kekuatan, bukan pemisah.
Perayaan Imlek yang dikemas dalam bentuk pengajian di masjid di Yogyakarta merupakan contoh yang sangat berharga bagi kita dalam memahami bagaimana identitas dan budaya dapat berpadu dengan harmonis. Melalui penciptaan dan representasi tradisi semacam ini, kita diajak untuk merenung tentang pentingnya menghargai keberagaman yang ada di sekitar kita.
Indonesia, sebagai bangsa dengan beragam suku, agama, dan budaya, seharusnya lebih banyak menciptakan ruang publik yang dapat mempertemukan perbedaan, bukan memisahkannya.
Pengajian Imlek di Yogyakarta contohnya, bukan cuma soal merayakan tahun baru, tapi juga merayakan kebersamaan. Perbedaan bukan sesuatu yang perlu ditakuti, justru bisa jadi alasan untuk saling mendekat. Kalau semakin banyak ruang seperti ini, Indonesia bakal terasa lebih hangat untuk semua, terbingkai dalam keberagaman.