Frensia.id – Di tengah gempuran megahnya pembangunan infrastruktur dan kemajuan yang dikejar negeri ini, terselip satu kenyataan pilu yang belum usai, Indonesia masih darurat kekerasan perempuan. Di berbagai belahan sudut negeri, perempuan dihantui ancaman yang tidak hanya menghilangkan hak asasi mereka, tapi merenggut nyawa.
Kekerasan perempuan yang berujung maut itu dikenal dengan sebutan femisida, sebuah kejahatan dengan menghilangkan nyawa perempuan yang berhubungan dengan identitas gendernya. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), femisida adalah bentuk kekerasan yang ditujukan kepada perempuan, meliputi berbagai tindakan.
Femisida ini terdiri dari beberapa jenis, seperti yang dijelaskan dalam Femiside in Canada di kutip oleh oleh Yonna Beatrix Salamor dalam risetnya Pengaturan Tentang Femisida Dalam Hukum Pidana Indonesia (Kajian Perbandingan UU HAM dan UU TPKS (2024, hal 101-102). Ragam Wajah femisida tersebut terbagi dalam tujuh klaster :
Pertama, Femisida Intim. Ini terjadi ketika pasangan atau mantan pasangan membunuh perempuan. Perempuan lebih rentan mengalami kekerasan, pemerkosaan dan pembunuhan ketimbang laki-laki terutama dalam sebuah hubungan intim.
Perempuan merasa tidak aman di rumah, tempat yang seharusnya teraman. Hubungan yang awalnya penuh kasih bisa berubah menjadi tempat kekerasan.
Kedua, Femisida non-Intim. Jenis ini melibatkan pembunuhan oleh laki-laki yang tidak ada relasi apapun dengan korban. Meski tidak saling kenal, perempuan tetap menjadi target karena mereka perempuan. Dikenal juga dengan femisida orang asing.
Ketiga, femisida konflik bersenjata. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan terhadap perempuan, mereka digunakan sebagai ‘senjata saat perang’. Tujuan ini biasanya bertujuan untuk menghukum dan menganiaya perempuan yang berasal dari kelompok tertentu.
Keempat, Femisida Terhubung. Jenis ini mengarah pada tindakan pembunuhan terhadap perempuan yang sebetulnya bukan target utama pelaku. Tindakan ini bisa terjadi ketika terdapat perempuan selain target utama yang berusaha untuk menghentikan aksi pembunuhan yang akan terjadi. Dalam usaha untuk menghentikan kekerasan, mereka malah menjadi korban.
Kelima, Femisida berlatar belakang budaya. Kekerasan ini biasanya mengarah kepada pembunuhan perempuan yang dilatarbelakangi oleh konteks budaya, seperti femisida berbasis kehormatan. Misalnya, perempuan bisa dibunuh karena dianggap mempermalukan keluarga mereka.
Keenam, Femisida seksual. ini adalah kekerasan seksual yang berujung pada kematian perempuan. Baik secara disengaja maupun tidak, perempuan sering kali menjadi korban kekerasan tak manusiawi ini.
Ketujuh, femisida rasis. Jenis ini terjadi ketika pembunuhan seseorang perempuan dilakukan karenya adanya kebencian datau penolakan terhadap ras atau etnis tertentu. Diskriminasi ini menyebabkan perempuan menjadi target kekerasan hanya karena identitas mereka.
Catatan Komnas Perempuan (2023) merilis femisida intim atau pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan yang dilakukan oleh pasangan atua mantan pasangan menempati klaster tertinggi. Dengan jumlah 109 kasus atau 67% dari keseluruhan kasus femisida.
Apapun jenisnya femisida adalah masalah serius yang tidak ada tempat dimanapun, terutama negeri ini yang sejak awal kemerdekaan mendeklarasikan melindungi segenap bangsanya. Perlu menyadari dan melawan kekerasan ini, agar perempuan dapat hidup tanpa takut dan merasa aman.
Negara, mestinya tidak hanya serius membangun infrastruktur jalan, tapi infrastruktur keadilan bagi perempuan dengan membuat aturan yang jelas dan tegas mengenai femisida. Tanpa keseriusan negara, menuju Indonesia yang lebih aman dan berkeadilan perempuan tidak akan terbuka lebar. *
*Moh. Wasik (Pengurus LKBHI UIN KHAS Jember dan santri Dar Al Falasifah Institut)