Frensia.id- Selama hidupnya Gibran menghasilkan sekitar 17 karya, dalam bentuk prosa dan puisi. Secara umum dapat dibagi menjadi dua, menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Penggunaan dua bahasa tersebut mempunyai maksudnya masing-masing. Apabila menggunakan bahasa Arab, artinya Gibran mencoba untuk memberi ajakan dan menggugah bangsa-bangsa Arab, termasuk bangsanya sendiri, yaitu Libanon, agar sadar akan kondisi yang terjadi dan turut serta membantu menghapuskan penjajahan yang terjadi di negeri-negeri mereka.
Apabila menggunakan bahasa Inggris, artinya Gibran bermaksud untuk menyadarkan bangsa-bangsa Barat akan pentingnya perdamaian dan persaudaraan.
Seluruh karyanya merupakan hasil dari sensitifitasnya yang tinggi dalam menilai sesuatu lebih-lebih dalam persoalan cinta sebagai grand tema yang ia gunakan.
Kemampuannya yang begitu halus dalam menggunakan kalimat tidak bisa dilepaskan dari lika-liku kehidupannya yang tergolong tragis.
Roda kehidupan yang ia jalani antara kesepian dan perpisahan senantiasa saling bertukar, sehingga membuat nalurinya begitu peka dan ekspresif terhadap suasana emosional.
Seperti yang tercatat dalam beberapa referensi yang memuat mengenai biografi pria ini. Dikisahkan ia telah menjalin relasi romantik dengan banyak perempuan, seperti Hala Dahir, Josephine Preston Peabody, Mary Elizabeth Haskell, Barbara Young dan May Ziadah.
Dari semua perempuan-perempuan tersebut tidak ada satu pun yang berakhir dengan kondisi bahagia. Sampai akhir hidupnya ia tetap hidup sendirian.
Mungkin kenyataan-kenyataan inilah yang menjadikan kalimat-kalimatnya bernuansa kemurungan dan kesenduan.
Dari banyak perempuan yang pernah dekat dan singgah di hatinya, ada satu yang menjadikan Gibran harus mengakui dan berhutang budi kepadanya.
Dimana perempuan tersebut mempunyai andil kepada Gibran dalam meniti karir pendidikannya. Dia adalah seorang perempuan bernama Mary Elizabeth Haskell, pada tahun 1904.
Seorang yang menaruh perhatian terhadap seni dan pendidikan. Ia pula yang mengirim dan membiayai Gibran ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya.
Atas jasa-jasanya tersebut, Gibran mengabadikan namanya di setiap pembukaan bukunya, dengan menggunakan inisial M.E.H.
Bagi pembaca karya-karya Kahlil Gibran, entah dalam bahasa induknya atau terjemahan, pasti tidak akan asing dengan untaian kalimat yang cukup puitis dan kira-kira sukar untuk dimaknai secara sepintas, berikut kalimatnya:
“Untuk dia yang memandang matahari dengan mata berbinar, merengkuh bara api dengan jemari yang tak bergetar dan mendengar nada spiritual dari keabadian di balik pekik ribut si buta”.
Untuk M.E.H. Aku persembahkan buku ini. Gibran.
Kalimat tersebut selalu mengawali karya-karyanya dan diakhir kata akan ia cantumkan nama perempuan yang sangat berjasa dalam jenjang karir pendidikannya tersebut.
Dalam perjalanan hidup Gibran, setelah kesuksesannya semakin memuncak dengan terbitnya The Prophet, penyakit yang selama ini diidap kembali kambuh, yakni kesepian dan kesunyian. Hubungannya secara pribadi dengan Mary Elizabeth Haskell mulai renggang.
Karena menurut M.E.H, Gibran tidak lagi membutuhkan dirinya, lalu ia menikah dengan sahabat Gibran.
Dan akhir dari kisah romontis penyair yang banyak mempengaruhi remaja yang sedang jatuh cinta ini, lagi-lagi kandas dan terbuang sia-sia.