Frensia.id – Suara mesin pendingin bercampur dengan aroma buah pisang yang perlahan matang menjadi latar dari sebuah perubahan di dunia pertanian Lumajang. Di tengah geliat generasi muda yang mulai kembali melirik sektor agrikultur, seorang petani muda dari Desa Pulo, Kecamatan Tempeh, membawa ide sederhana namun berdampak besar ke ajang Lomba Petani Milenial Hortikultura Jawa Timur 2025. Inovasinya berupa teknologi cold storage berbasis pengendalian gas etilen yang dirancang untuk mengoptimalkan proses pematangan pisang secara presisi, efisien, dan berkelanjutan.
Bagi Fathimatuz Zahroh, atau yang akrab disapa Faza, inovasi ini lahir dari keprihatinan panjang terhadap kondisi pascapanen pisang di daerahnya. Selama bertahun-tahun, petani di Lumajang mengandalkan cara tradisional dalam mematangkan pisang, mulai dari menumpuk buah di gudang tertutup hingga menggunakan karbit sebagai pemicu kimiawi. Metode itu memang cepat, tetapi berisiko terhadap mutu buah, kesehatan pekerja, dan keberlanjutan lingkungan. Dari sinilah muncul gagasan untuk memanfaatkan prinsip alami pematangan buah melalui gas etilen yang dikendalikan dalam ruang bersuhu stabil.
“Saya melihat petani sering rugi bukan karena gagal panen, tapi karena gagal mempertahankan kualitas setelah panen. Di situ titik masalahnya. Maka saya berpikir bagaimana kalau pisang diperlakukan seperti buah ekspor—dimatangkan secara terukur, tidak serampangan, dan waktunya bisa diatur sesuai permintaan pasar,” ujar Faza saat ditemui di sela kegiatan persiapan lomba di Lumajang, 17 Oktober 2025.
Teknologi yang dikembangkannya sebenarnya sederhana namun revolusioner untuk skala kelompok tani. Sistem penyimpanan dingin ini mengandalkan sensor suhu dan kelembapan otomatis, tabung gas etilen skala kecil, serta pengontrol digital berbasis mikrokontroler lokal. Faza mendesain sistem tersebut agar modular, dapat digunakan oleh kelompok tani dengan modal terbatas, tanpa ketergantungan pada perangkat impor berbiaya tinggi. Hasil uji coba di lahan mitra kelompok tani Rojopolo menunjukkan peningkatan keseragaman kematangan buah hingga 95 persen, perpanjangan umur simpan 5 hingga 7 hari lebih lama, dan kenaikan harga jual rata-rata 20–30 persen dibanding metode konvensional.
“Saya ingin membuktikan bahwa teknologi itu bukan soal canggih atau mahal. Yang penting adalah tepat guna, bisa dirawat sendiri, dan menjawab persoalan di lapangan. Kalau petani bisa menguasai teknologi pascapanen, mereka tidak lagi hanya menjual bahan mentah tapi juga nilai tambahnya,” tutur Faza.
Di balik kesederhanaannya, inovasi ini juga memiliki makna sosial yang lebih luas. Dengan cold storage berbasis gas etilen, para petani di Lumajang kini dapat menyimpan pisang mentah dalam waktu lebih lama, menunggu harga pasar membaik sebelum menjualnya. Dampaknya, distribusi hasil panen menjadi lebih fleksibel dan potensi kerugian pascapanen dapat ditekan secara signifikan. Petani kecil yang biasanya bergantung pada tengkulak mulai memiliki posisi tawar baru di rantai pasok hortikultura. Pemerintah daerah pun menilai inovasi ini sebagai bentuk nyata implementasi teknologi tepat guna dalam memperkuat daya saing produk hortikultura lokal.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Lumajang, Ir. Retno Wulan Andari, M.Si, menyebut karya seperti yang dikembangkan Faza sebagai langkah konkret menuju transformasi pertanian milenial berbasis teknologi dan keberlanjutan.
“Petani muda kini tidak hanya menanam, tetapi juga berinovasi. Lumajang punya potensi besar untuk menjadi pusat hortikultura modern Jawa Timur, dan generasi muda seperti Faza menjadi penggerak utamanya,” ujarnya dalam pernyataan tertulis kepada panitia lomba.
Dalam konteks yang lebih luas, kehadiran inovasi tersebut menegaskan arah baru dunia pertanian Jawa Timur yang mulai bergeser dari paradigma konvensional menuju sistem berbasis riset dan teknologi. Lomba Petani Milenial Hortikultura Jawa Timur 2025 yang digelar oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur bukan hanya arena kompetisi, melainkan juga ruang pertemuan ide dan inspirasi antarpetani muda.
Agenda lomba yang berlangsung sejak 13 hingga 31 Oktober 2025 mencakup serangkaian kegiatan mulai dari seleksi administrasi, presentasi proposal inovasi, kunjungan lapangan terhadap sepuluh besar peserta, hingga malam penganugerahan di Whiz Luxe Hotel Surabaya. Dalam ajang tersebut, para peserta tidak hanya mempresentasikan gagasan, tetapi juga diuji kemampuannya dalam menyusun model bisnis, keberlanjutan sosial, dan dampak lingkungan dari inovasinya.
Bagi Faza, mengikuti lomba bukan sekadar mengejar gelar atau penghargaan, melainkan sarana untuk memperluas jaringan dan memperkenalkan gagasan ke publik yang lebih luas. Ia berharap inovasi ini bisa menjadi proyek kolaboratif yang dikembangkan bersama kelompok tani lain di berbagai daerah.
“Saya tidak ingin inovasi ini berhenti di kompetisi. Saya ingin ada replikasi di kabupaten lain. Kalau Lumajang bisa, kenapa Jember, Banyuwangi, atau bahkan Lampung tidak bisa? Prinsipnya sama: pisang di mana pun punya masalah pascapanen, dan solusinya bisa sama,” ungkapnya penuh semangat.
Keberhasilan Faza juga memperlihatkan wajah baru petani Jawa Timur yang tidak lagi terpaku pada pola lama. Generasi milenial kini hadir dengan pendekatan sains, keberlanjutan, dan orientasi pasar yang lebih strategis. Cold storage yang ia rancang menjadi simbol pergeseran cara pandang—dari petani sebagai produsen primer menjadi pelaku agribisnis yang mengelola rantai nilai secara utuh. Inovasi ini, dalam kata-katanya sendiri, bukan hanya tentang menjaga kesegaran pisang, tetapi juga menjaga harapan agar petani muda tidak kehilangan keyakinan bahwa pertanian adalah jalan masa depan.
“Saya ingin membuktikan bahwa bertani itu tidak harus identik dengan lumpur dan kelelahan. Bertani bisa ilmiah, bisa modern, dan bisa menguntungkan jika kita berani berpikir maju,” tutupnya.
Ajang Petani Milenial Hortikultura Jawa Timur 2025 menjadi saksi bahwa inovasi tidak selalu datang dari laboratorium besar, melainkan bisa tumbuh dari desa-desa seperti Pulo di Lumajang, tempat semangat dan teknologi bertemu di tangan generasi muda yang percaya bahwa perubahan besar sering dimulai dari ide yang sederhana—sebuah ruang dingin yang menjaga pisang tetap segar, dan sekaligus menjaga mimpi petani agar tetap hidup. (*)