Frensia.id – Peneliti dari Department of International History London School of Economics and Political Science (LSE), Inggris, Kirsten E. Schulze, menyebut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai salah satu tokoh kunci kebangkitan demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru.
Namun, dalam risetnya yang diterbitkan dalam Studies in Conflict & Terrorism tahun 2001, Schulze menegaskan bahwa warisan militerisme di Indonesia tetap menjadi tantangan besar yang belum sepenuhnya teratasi.
Dalam analisis Schulze, perubahan besar pada akhir 1990-an, termasuk krisis ekonomi Asia 1997, gerakan reformasi rakyat, dan jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998, menciptakan momentum untuk demokrasi. Namun, proses ini juga memunculkan dinamika yang kompleks, termasuk tantangan terhadap peran militer dalam masyarakat dan integritas teritorial Indonesia.
Setelah jatuhnya Soeharto, B.J. Habibie menggantikannya sebagai presiden, namun pemerintahannya mengalami pukulan besar ketika Timor Timur memilih merdeka dalam referendum Agustus 1999.
Habibie kemudian gagal mempertahankan jabatan presiden dalam Pemilu Oktober 1999, membuka jalan bagi terpilihnya Gus Dur, seorang tokoh yang dikenal moderat dan reformis.
Schulze mencatat langkah-langkah signifikan yang diambil Gus Dur untuk memperkuat demokrasi, seperti mengangkat menteri pertahanan sipil pertama dalam sejarah Indonesia dan mengakhiri jatah kursi militer di DPR.
Upaya ini dipandang sebagai tonggak penting dalam transisi demokrasi, yang juga didorong oleh tekanan internasional dan keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akibat krisis di Timor Timur.
Namun, Schulze mengingatkan bahwa reformasi di bawah Gus Dur tidak serta-merta melemahkan peran militer atau membangun budaya politik yang benar-benar pluralis. Ia menyoroti bagaimana pola kekerasan dalam konflik di Maluku pada periode yang sama menunjukkan keberlanjutan agenda-agenda militer yang tidak sepenuhnya terungkap.
Referendum di Timor Timur dan pola kekerasan yang menyertainya mengungkap bahwa reformasi Gus Dur hanya mampu menutupi ketegangan yang lebih dalam.
“Pemerintahan Gus Dur, dalam pengertian itu, hanyalah perombakan konsensus baru,” tulis Schulze.
Ia bahkan mengemukakan argumen kontroversial bahwa kehilangan Timor Timur bisa jadi adalah strategi untuk mempertahankan peran militer dalam struktur masyarakat Indonesia, sebuah konsensus baru yang hanya mengalami perombakan kosmetik di era Gus Dur.
Bagi Schulze, warisan militerisme tidak hanya mencakup keberadaan fisik tentara, tetapi juga budaya politik yang diwariskan sejak era Orde Baru. Dalam hal ini, reformasi yang diperkenalkan Gus Dur dianggap sebagai langkah awal, tetapi belum mampu sepenuhnya menantang akar militerisme yang tertanam dalam institusi negara dan budaya politik Indonesia.
Meskipun demikian, kontribusi Gus Dur terhadap demokrasi tetap signifikan. Ia menjadi simbol penting dalam transisi menuju pemerintahan sipil yang lebih inklusif, sekaligus menandai perubahan besar dalam hubungan antara sipil dan militer. Namun, seperti yang dicatat Schulze, transisi ini masih jauh dari kata selesai.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto, meskipun telah mengalami kebangkitan, masih menghadapi tantangan besar dalam mengatasi jejak panjang militerisme.
Gus Dur, dengan segala upayanya, memberikan pijakan awal yang kuat, namun butuh keberlanjutan dari kepemimpinan politik berikutnya untuk benar-benar membangun demokrasi yang kokoh dan pluralis.
Penelitian Schulze menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak hanya soal mengubah institusi, tetapi juga soal mengubah budaya politik dan hubungan kekuasaan di dalam masyarakat. Dengan demikian, Indonesia masih memiliki perjalanan panjang dalam memperkuat demokrasinya di tengah bayang-bayang warisan militerisme.