Kartini, Lentera Pendidikan Perempuan

Tuesday, 22 April 2025 - 12:47 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Bayangkan seorang gadis bangsawan Jawa berusia dua belas tahun yang harus mengucapkan selamat tinggal kepada sekolah. Ia tidak pindah kelas, tidak naik jenjang, melainkan dikurung—secara harfiah—di dalam rumahnya sendiri. Empat tahun lamanya ia tidak diizinkan keluar, tidak boleh memilih hidup, bahkan tidak tahu kepada siapa kelak ia akan dinikahkan.

Di balik sunyi dan sekat adat yang kaku, ia menulis. Kepada Estelle Zeehandelaar di Belanda, ia mengabarkan nasib perempuan di negerinya. Surat tertanggal 2 Mei 1899 menjadi salah satu saksi betapa ia resah sekaligus berpikir jauh ke depan: “Kami anak-anak perempuan yang terikat kaki tangan kami oleh adat-adat kuno tadi, hanyalah sedikit-sedikit boleh merasai kelazatan kemajuan tentang pengajaran itu.”

Kartini, dari ruang sempit di Jepara, tidak hanya mengungkap luka personal, tapi membangun kerangka pikir pembebasan. Kita bisa tidak melihat surat-surat itu sebagai sekadar nostalgia kolonial, tetapi sebagai teks kunci dalam sejarah pendidikan dan pemikiran perempuan Indonesia.

Baca Juga :  Hadiri Haul Ke-44 Kiai Hamid Pasuruan, Gus Firjaun Komentari Kenaikan Pajak

Kartini menyadari, pendidikan bukan sekadar soal angka melek huruf, melainkan fondasi kebebasan. Dalam surat yang sama, ia menulis getir: “Empat tahun lamanya saya tinggal berchalwat di antara empat dinding yang tebal itu dengan tiada pernah keluar-keluar sekali jua pun.”  Namun dari balik pengurungan itulah, pikirannya menjelajah dunia, menjangkau cita-cita emansipatoris yang melampaui zamannya.

Ia tidak sekadar ingin perempuan sekolah. Ia ingin perempuan menjadi pribadi merdeka, yang kelak dapat berdiri sejajar dengan laki-laki—baik dalam keluarga maupun masyarakat. “Saja ingin benar hendak menjampaikan maksudnja itoe, soepaja perempuan-perempuan mendjadi sahabat jang berharga oentoek soeaminja.” tulis Kartni.

Kartini ingin perempuan menjadi subjek penuh, bukan pelengkap penderita dalam sejarah bangsa.

Kita mungkin tergoda menganggap bahwa perjuangan Kartini telah selesai. Bukankah hari ini perempuan sudah bisa kuliah, menjadi dosen, bahkan menteri? Namun pertanyaannya belum bergeser: apakah semua anak perempuan di pelosok negeri telah memiliki akses yang setara terhadap pendidikan? Apakah kemajuan pendidikan perempuan sudah membentuk masyarakat yang lebih adil bagi mereka?

Baca Juga :  Digelar Kejari dan Dispendik, Siswa Jember Antusias Ikut Lomba Video Kreatif Restorative Justice

Di ruang-ruang kelas yang sempit, di desa-desa yang jauh dari pusat, masih banyak anak perempuan yang terpaksa berhenti sekolah demi menjadi istri atau buruh murah. Dalam konteks seperti itulah, suara Kartini masih sangat relevan—sebagai lentera yang belum padam.

Kartini tidak sempat menyaksikan sekolah-sekolah berdiri atas namanya. Ia wafat dalam usia 25 tahun, tak lama setelah melahirkan anak pertamanya. Namun warisan intelektual dan moralnya terus hidup, menjadi cahaya dalam perjalanan pendidikan perempuan Indonesia.

Ia adalah lentera pertama yang menyalakan kesadaran: bahwa perempuan juga berhak berpikir, belajar, dan memilih jalan hidupnya sendiri. Dan dari balik gelap yang pekat, ia mengirimkan terang yang masih kita rasakan hingga hari ini.*

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Demi Mutu Tata Birokrasi Pesantren, Akademisi UIN KHAS Gelar Diskusi Di Nurul Wafa-Situbondo
Kuatkan Good Governance, UIN KHAS Jember Dorong ORMAWA Jadi Motor Budaya Akademik
Ribuan Mahasiswa Universitas Ibrahimy Resmi Diwisuda, Dua Mahasiswa dan Satu Dosen Raih Hadiah Umrah
Gus Udin Harap Kiai Sepuh NU Bersikap Soal Dugaan Skandal Haji
Digelar Kejari dan Dispendik, Siswa Jember Antusias Ikut Lomba Video Kreatif Restorative Justice
Bakal Calon Ketua DPD dan DPC Periode 2025-2030 Dijaring! PAC PDI Perjuangan Se-Banyuwangi Gelar Rapat Serentak
Hadiri Haul Ke-44 Kiai Hamid Pasuruan, Gus Firjaun Komentari Kenaikan Pajak
Gerakan PMII Cabang Jember Bukan Ruang Fomo
Tag :

Baca Lainnya

Saturday, 11 October 2025 - 19:55 WIB

Demi Mutu Tata Birokrasi Pesantren, Akademisi UIN KHAS Gelar Diskusi Di Nurul Wafa-Situbondo

Friday, 26 September 2025 - 16:24 WIB

Kuatkan Good Governance, UIN KHAS Jember Dorong ORMAWA Jadi Motor Budaya Akademik

Wednesday, 17 September 2025 - 16:54 WIB

Ribuan Mahasiswa Universitas Ibrahimy Resmi Diwisuda, Dua Mahasiswa dan Satu Dosen Raih Hadiah Umrah

Monday, 15 September 2025 - 21:17 WIB

Gus Udin Harap Kiai Sepuh NU Bersikap Soal Dugaan Skandal Haji

Tuesday, 2 September 2025 - 18:27 WIB

Digelar Kejari dan Dispendik, Siswa Jember Antusias Ikut Lomba Video Kreatif Restorative Justice

TERBARU