Frensia.id- Sudah menjadi tradisi pada era klasik, julukan yang dilekatkan kepada seseorang menjadi simbol akan identitas yang dimilikinya, begitu halnya dengan kapasitas keilmuan dan kepakaran yang dimiliki.
Sebagai salah satu contohnya, adalah apa yang dikuasai oleh Imam Al-Ghazali. Dalam banyak turats Islam di semua bidang keilmuan, apabila hendak menyebut penulis kitab Ihya’ Ulumiddin ini, maka akan disebut pula predikat yang dimiliki, yaitu hujjatul Islam.
Karena kepakaran yang dimiliki dalam menyusun dan memproduksi argumentasi, beliau mendapatkan julukan demikian. Hal tersebut dapat ditemukan di berbagai naskah-naskah kitab yang dikarang.
Setiap persoalan yang dibahas, akan menarik sebuah kesimpulan berdasarkan analisis yang cukup ketat dengan beragam premis yang saling koheren dan menguatkan.
Selain itu Imam Al-Ghazali, sering membuat perumpamaan yang cukup menarik dalam menjelaskan sebuah masalah. Seperti halnya, pendapat beliau mengenai bagaimana hukum orang yang beribadah menggunakan fasilitas, semisal pakaian yang haram.
Dalam hal ini beliau memberi perumpamaan, seperti orang yang menyucikan dirinya dengan menggunakan air kencing.
Begitulah Imam besar umat Islam di bidang Tasawuf ini, dalam menyusun argumentasi dan kreatifitasnya membuat majaz.
Berkaitan dengan sosoknya sebagai Hujjatul Islam dan kedalaman ilmunya, beliau mendapatkan pengakuan langsung dari Nabi Muhammad SAW dan memberinya kesempatan untuk beradu argumentasi dengan Nabi Musa as.
Cerita tersebut jelas bukan berasal dari kehidupan dunia nyata, karena beliau bertiga hidup dalam rentang waktu yang jauh sekali berbeda.
Dalam hal ini, kisahnya diceritakan oleh Imam Al-Syadili, pengarang hizb Bahr. Suatu ketika beliau berbaring di masjidil Aqsho (hingga tertidur).
Dalam mimpinya beliau melihat dan mendengarkan, Nabi Musa berbicara kepada kepada Nabi Muhammad SAW,”sesungguhnya engkau bersabda bahwa ulama’ dari umatku seperti nabi-nabi Bani Isra’il, maka tunjukkanlah kepada kamisalah satu dari mereka”.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “aini”, sambil menunjuk kepada Imam Al-Ghazali. Maka nabi musa mengajukan pertanyaan dan Imam Al-Ghazali menjawab dengan sepuluh jawaban.
Kemudian Nabi Musa memprotes jawaban tersebut,”pertanyaan selayaknya cocok dengan jawaban, pertanyaannya satu sedangkan jawabannya sepuluh”.
Kemudian kesempatan bagi Imam Al-Ghazali untuk memberi tanggapan, dengan berkata, “protes ini telah dinyatakan pula atasmu, ketika engkau ditanya,”wa maa tilka bi yamiinika” seharusnya engkau cukup menjawab “tongkatku”, namun kemudian malah engkau menyebutkan sifat yang banyak.
Begitulah kecanggihan Imam Al-Ghazali sekaligus membuktikan kebenaran sabda Nabi Muhammad, sebagaimana disampaikan oleh Nabi Musa dalam cerita tersebut.
Mendengar percakapan tersebut Nabi Muhammad SAW pun tersenyum dan berkata kepada Nabi Musa,”adakah dalam umatmu yang bisa seperti ini?” Nabi Musa pun menjawab, “tidak”.