Frensia.id- Jika berpikir merupakan aktifitas yang berharga dan bernilai, maka semakin banyak dan dalam ide atau gagasan yang dihasilkan, maka semestinya apresiasi yang diperoleh oleh seorang pemikir semakin tinggi pula.
Tetapi realitanya tidak demikian, beberapa pemikir diantaranya mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya, lebih-lebih ketika maha karya yang ia tulis dianggap sebagai rujukan bagi umat manusia dan peradaban.
Sebut saja semisal Imam Al-Ghazali, karya monumentalnya yang diberi nama Ihya’ Ulumuddin, menjadi satu-satunya dan yang paling utama bagi dunia tasawuf untuk menyandarkan argumentasinya.
Sayangnya pemikir yang lain, dengan kedalaman dan temanya masing-masing justru dianggap gila, tidak hanya saat ia hidup melainkan lebih banyak pengakuan akan kegilaan saat dirinya meninggal dan di waktu banyak pula yang mempelajarinya.
Berikut merupakan para pemikir yang mendapatkan asosiasi gila, karena justru ia menggunakan pikirannya secara over.
Pertama, Fyodor Destoyovsky, sastrawan berkebangsaan rusia ini dianggap gila karena nuansa sastra yang ia tuangkan dalam cerita pendek dan novel-novelnya mengeksplorasi secara radikal tentang dosa, rasa bersalah dan moralitas dengan berfokus pada sisi gelap manusia. Ia tidak ragu-ragu untuk mengungkap sesuatu yang sebenarnya tabu dalam konteks kehidupan manusia, termasuk spiritual di Rusia.
Kedua, Franz Kafka, novelis dan cerpenis yang meninggal usia muda ini, 40 tahun, mewarnai dunia sastra abad 20 dengan mengangkat tema seputar makna hidup, seperti alienasi, absuditas, keterkungkungan dihadapan realitas. Karya-karyanya merupakan manifestasi dari tragedi kehidupan pribadinya sendiri. Caranya yang unik dalam bercerita memberi pengaruh terhadap dunia sastra pasca meninggalnya Kafka.
Ketiga, Soren Kierkergaard, pemikir eksistensialis yang lahir dari keluarga taat agama ini mempunyai kecenderungan untuk selalu dinaungi kecemasan. Dari sudut pandang itulah kedalaman-kedalaman pikiran ia tuangkan dalam berbagai tulisan. Gaya hidup kesepian dan obsesinya terhadap iman serta kritik tajam kepada gereja menjadikan sosoknya dianggap keluar dari jalur kalangan orang-orang saleh, sebagaimana yang diterapkan oleh ayahnya dulu.
Keempat, Albert Camus, penulis yang dianugerahi hadiah nobel pada tahun 1957 ini mempunyai sisi kelam dalam pokok-pokok pikirannya yang menjadikan dirinya diperhitungkan dengan keanehan. Pandangannya yang menolak untuk mencari makna hidup dan gagasannya mengenai pemberontakan metafisis turut menarik perhatian para pemerhati sastra.
Kelima, Jean paul Sartre, pemikir kelahiran Prancis yang dikategorikan dalam faham eksistensialisme ini menekankan secara radikal terhadap kebebasan dan tanggung jawab penuh terhadap makna hidup. Ia menolak untuk mendapatkan penghargaan nobel yang mana justru membuat dirinya memperoleh perhatian dan pikiran-pikirannya menjadi ajang pembahasan.
Keenam, Friedrich Wilhelm Nietzsche, filosof besar jerman ini sangat patut diperhitungkan ide dan ajarannya. Ia sangat berpengaruh terhadap sebuah era yang disebut dengan postmodernisme. Gagasan gila yang sontak mengagetkan publik, lebih-lebih masyarakat beragama adalah warta tentang ‘kematian tuhan’. Sebagai sumber nilai utama, kematian tuhan merupakan sebuah harapan Nietzsche sendiri agar manusia melahirkan nilainya masing-masing. Idenya terangkum dalam sebuah faham yang dikenal dengan nihilisme.
Kegilaan para pemikir-pemikir tersebut apabila ditarik satu kesimpulan adalah karena ide yang dilahirkan bersentuhan secara radikal dengan sisi sensitif yang meliputi kehidupan manusia, seperti makna hidup, moralitas dan agama.