Frensida.id – Perhelatan pilkada Gubernur sudah dimulai, suara-suara kampanye Pilgub kian mulai tersebar dari segala penjuru, mulai panggung-panggung megah di hotel berbintang hingga obrolan warung kopi. Ada kabar menarik ditengah hiruk-pikuk pilkada Jawa Timur, nama kiai Marzuki Mustamar yang digadang-dagang ikut bertarung, bahkan Partai besar seperti PKB berharap besar kiai jalan terus menuju pilgub Jatim.
Tiba-tiba muncul kabar yang yang bikin heboh, PKB batal usung Kiai Marzuki di pilgub Jatim. Alih-alih mengumpulkan berkas pencalonan, tahu-tahu kiai Marzuki memilih jalan yang berbeda. Di tengah riuh bursa calon gubernur, ia tetap absen dan tidak berkenan. Ia justru lebih memilih mimbar daripada kolom pendaftaran.
“Ah, sayang sekali” mungkin begitu kelakar banyak orang, khususnya mereka yang sejak awal menaruh harapan besar kiai maju di pilkada jatim. Tapi tidak demikian bagi kiai Marzuki, bagi beliau mungkin politik bukanlah satu-satunya jalan mengopeni negeri. Jalan dakwah, mengayomi umat melalui mimbar yang ia tempuh dianggap jauh lebih hakiki.
Pertanyaan yang muncul dikalangan pengikutnya, mengapa kiai Marzuki memilik tidak ikut dalam kontestasi kursi gubernur Jatim, padahal peluangnya jelas terbuka lebar? Kharisma dan ketokohannya tidak kalah tenar dengan petahana, Khofifah Indar Parawansa, pengabdian pada uat saat menjabat Ketua PWNU jatim jelas terlihat, kecerdasannya pun tidak ada yang meragukan, lalu kenapa?
Jawabannya mungkin tak mudah dicerna dalam kalkulasi politik biasa. Tak semudah melalap habis nasi padang yang masih anget-angetnya. Itu Karena Kian Marzuki adalah sosok kiai yang berpikir jauh, melampaui ambisi kekuasaan. Baginya, mimbar adalah ruang pengabdian yang lebih mulia, daripada kursi gubernur uang penuh godaan kekuasaan seorang.
Di saat tokoh-tokoh lain bersaing untuk kekuasaan, kiai Marzuki tetap setia pada mimbar, tempat yang bisa memberikan dampak lebih mendalam dan abadi. Bagi Kaia Marzuki, mimbar adalah wadah untuk berbicara dari hati ke hati, menyentuh jiwa ummat dengan nasihat dan petuah makna.
Sebuah pilihan yang menggugah banyak hati untuk lebih merenung tentang arti dari kepemimpinan dan kekuasaan yang sebenarnya. Ini bukan sekedar cerita seorang kiai kharismatik, melainkan kisah tentang integritas, pengabdian dan keteguhan hati di tengah ‘godaan’ kekuasaan yang tak pernah berhenti berdatangan menyuguhkan jalan menuju diraihnya.
Tak dapat disangkal, keputusannya ini membuat decak kagum, dilakangan masyarakat. Hal itu bukan tanpa alasan? bukankah lebih muda untuk menyelam ke dunia politik ketika popularitas sudah berada di puncak? disaat orang sedang membangun elektoral dan mencari ketenaran dengan berbagai cara. Malah sebaliknya, sosok ketua PWNU jatim 2018-2023 ini menghindarinya.
Langkah ini tak hanya menegaskan konsistensi dirinya dalam menjalani politik kebangsaan dan keumatan, tetapi juga memperlihatkan keteguhan hatinya sebagai ulama yang lebih memilih ‘mengopeni ummat’ daripada mengejar jabatan gubernur. Sebuah sikap yang langka ditemukan di zaman sekarang, dimana godaan politik begitu besar dan menggiurkan. Bahkan sebagian orang justru sibuk membangun dinasti politiknya dengan ambisi yang seringkali mengalahkan idealisme. Miris!
Lebih jauh, sikap kiai Marzuki menjadi alarm moral bahwa tidak semua yang punya nama besar harus maju ke gelanggang politik. Ada yang lebih memilih untuk tetap menjadi pelita, meski mungkin sinarnya tak sebesar sorotan lampu panggung politik.
Namun justru disitu kelak kekuatan kiai Marzuki. Di dalam sunyi, di luar hingar bingar, beliau tetap berdiri teguh, mengingatkan bahwa kepemimpinan bukan selalu tentang jabatan, melainkan pengabdian dan integritas.
Mungkin bagi sebagian orang, keputusan kiai Marzuki adalah sebuah antiklimaks. Bagi mereka yang paham tentu tidak, malah kebalikannya ini adalah klimaks sejati seorang pemimpin yang tahu di aman ia harus berada. Dalan parebasan pitutur sesepuh orang madura Lakonah Lakonih, Jhalennah Jhelenih, Kennengannah Kennenggih . Di mimbar bukan kursi gubernur, disitulah jalan dan tempatnya.
Melalui mimbar, Kiai Marzuki memenangkan hati umat tanpa harus berkompetisi.Ia menunjukkan bahwa menjadi kiai dengan visi kebangsaan tidak kalah berharga daripada hanya kalkulasi elektoral atau taktik politik praktis. Inilah esensi yang dipegang teguh kiai alumni Doktor Universita Islam Malang ini, mengutamakan prinsip di atas ambisi.*