“Jangan buru-buru menilai kiai dari mobilnya. Bisa jadi itu hanya cara Tuhan menutupi kelelahan seorang yang terlalu banyak memberi.”
Frensia.id – Beberapa hari terakhir, jagat maya kembali riuh. TRANS7 menayangkan liputan kontroversial tentang Pesantren dan Kiai, salah satu yang menjadi sorotan ialah penilaian terhadap Kiai “yang semakin kaya”, dengan narasi menggelitik, seolah-olah setiap amplop santri adalah batu bata yang menumpuk di garasi berisi mobil mewah. Publik pun gaduh. Ada yang sinis: “Wah, kiai sekarang mirip influencer, dakwah tapi penuh endorse!” Ada pula yang membela: “Kiai juga manusia, bro, butuh bensin, bukan cuma barokah!”
Tapi di tengah panasnya debat itu, saya justru teringat khutbah Jumat kemarin. Sang khotib berbicara tentang ikhlas, dan secara tak langsung menampar cara kita menilai para kiai. Ia mengutip kalimat dari salah satu sahabat Nabi, (kalau tidak salah) Zubair bin ‘Awwam:
“Ikhlas itu adalah menyembunyikan amal baik sebagaimana engkau menyembunyikan aibmu.”
Kata-kata itu terasa menembus. Di tengah era story before sujud, di mana kebaikan baru terasa sah setelah diunggah, ternyata ikhlas justru hidup dalam ruang sunyi, di mana amal tak perlu tepuk tangan, dan niat tak butuh like, comment, and subscribe.
Tapi mari kita balik sedikit narasinya. Bagaimana jika “kemewahan” yang terlihat di tubuh para kiai bukan bentuk pamer, melainkan paradoks dari beban spiritual dan sosial yang mereka pikul?
Dalam teori komunikasi Roland Barthes, simbol-simbol keseharian punya makna berlapis. Sebuah Alphard bisa jadi bukan simbol keserakahan, melainkan tanda wibawa. Pierre Bourdieu menyebutnya symbolic capital, modal sosial yang menjaga kredibilitas seseorang di mata publik.
Maka, bisa jadi kiai yang tampil rapi dan berkelas bukan sedang menikmati dunia, melainkan menjaga agar dakwahnya tetap diterima masyarakat urban yang kini menilai keseriusan lewat tampilan luar. Di ruang-ruang pertemuan para pejabat dan filantrop, wibawa sering kali ditentukan bukan oleh ilmu, tapi oleh simbol. Dan para kiai, sadar atau tidak, sedang berdiri di medan komunikasi baru, di mana kesalehan perlu sedikit kemasan agar pesan tak tenggelam di tengah hiruk-pikuk citra.
Namun di balik simbol itu, ada realitas yang jarang tampil di layar kaca. Banyak pesantren berdiri di atas tanah wakaf yang seandainya dijadikan lahan bisnis, pasti lebih menguntungkan. Banyak santri yang mondok gratis, sementara SPP yang dibayar hanya cukup untuk listrik dan beras seadanya. Seorang wali santri bahkan pernah berkata dengan tulus, “Kalau bukan karena kemurahan hati kiai, anak saya mungkin tak akan sekolah.”
Di situlah paradoks yang sering tak kita lihat. Kiai yang tampak kaya, mungkin justru sedang menutupi betapa besar pengorbanannya. Ia bisa saja hidup sederhana, tapi memilih tampil berwibawa agar pesantrennya dihormati. Ia bisa menumpuk aset pribadi, tapi justru mewakafkannya agar pesantren tetap hidup.
Dan amplop yang diterima seorang kiai bukanlah transaksi, melainkan bentuk kasih sayang. Dalam antropologi sosial, Marcel Mauss dalam karya monumentalnya, The Gift menjelaskan bahwa memberi bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan jalinan spiritual antara pemberi dan penerima. Amplop itu bukan “uang”, tapi “ikatan” — tanda saling percaya antara santri dan guru.
Masalahnya, kita hidup di zaman yang gemar menghitung segalanya, bahkan yang seharusnya tak bisa dihitung. Mungkin karena itu, kita mudah curiga pada keikhlasan. Sebab, kita sendiri semakin sulit mempraktikkannya. Socrates pernah bilang, kebijaksanaan sejati adalah menyadari betapa sedikit yang kita tahu. Maka mungkin, semakin kita menilai ikhlas orang lain, semakin kabur maknanya.
Kiai yang tampak kaya bisa jadi sedang menutupi luka batin dari perjuangan besarnya melayani umat. Sementara yang tampak sederhana bisa jadi sedang bangga dengan kesederhanaannya. Dua-duanya manusia, dua-duanya diuji. Sebab ikhlas, kata Rumi, “punya rahasia yang bahkan malaikat pun tak bisa menebak.”
Mungkin masalahnya bukan pada kekayaan kiai, tapi pada kemiskinan makna yang menular di masyarakat. Kita sibuk menghitung amplop, tapi lupa menghitung berapa banyak pesantren menampung yatim, mendidik anak bangsa, dan menjaga moral umat.
Para kiai, dengan segala kelelahannya, tetap berjalan di jalan sunyi. Menyembunyikan amal baik sebagaimana kita menyembunyikan dosa, seperti kata khotib Jumat kemarin. Selebihnya, saya tidak terlalu banyak paham karena khutbahnya berbahasa Jawa.