Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Rabu, 16 April 2025 - 06:32 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Mengampuni koruptor tanpa memulihkan keadilan sama saja dengan mengkhianati rakyat dua kali. Yang pertama saat uang mereka dijarah, dan yang kedua saat pelakunya diberi perlindungan atas nama belas kasihan.

Pernyataan Presiden Proboso tempo lalu dalam sebuah wawancara dengan pemimpin redaksi media massa tentang pentingnya mempertimbangkan nasib keluarga koruptor memang terdengar manusiawi. Namun dalam lanskap kejahatan yang sistemik dan merusak struktur moral bangsa, empati semacam ini berisiko menjadi simpati yang salah alamat. Korupsi bukan sekadar tindak pidana, ia adalah perampasan hak publik yang berdampak antargenerasi—dan memperlakukannya dengan kelembutan justru mencederai akal sehat publik.

Lebih jauh lagi, dalam konteks korupsi—sebuah kejahatan sistemik yang merusak sendi-sendi negara dan menghancurkan hak-hak publik—pernyataan tersebut perlu dibaca ulang secara kritis. Ketika simpati itu diberikan tanpa memperhitungkan sejauh mana keluarga pelaku turut menikmati, mendiamkan, atau bahkan ikut melanggengkan kejahatan tersebut. Dalam situasi seperti itu, yang dikorbankan bukan hanya rasa keadilan publik, tetapi juga kewarasan moral kita sebagai bangsa.

Dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama kurun 2015–2023, ditemukan 46 kasus korupsi yang melibatkan anggota keluarga pelaku. Keterlibatan itu tidak selalu bersifat pasif; banyak di antaranya merupakan pelaku aktif yang secara sadar menerima aliran dana, menyembunyikan aset, bahkan membentuk korporasi cangkang untuk menampung hasil korupsi. Maka menjadi tidak bijak, bila keluarga koruptor secara otomatis diasumsikan sebagai korban.

Lebih dari sekadar soal hukum, korupsi menyentuh urusan mendasar: keadilan sosial, martabat manusia, dan tanggung jawab moral. Dalam titik ini, penulia ingin mengajukan satu tesis utama: bahwa koruptor layak diposisikan bukan hanya sebagai musuh negara, melainkan juga sebagai musuh agama dan kemanusiaan.

Baca Juga :  Menjaga Alam, Merawat Kehidupan

Merusak Prinsip Kemanusiaan

Korupsi tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu menyusup ke dalam sistem pelayanan publik, merusak anggaran kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan perlindungan sosial. Uang yang semestinya menjadi alat pemerataan, diputar untuk kepentingan pribadi dan kelompok, meninggalkan jutaan rakyat dalam penderitaan struktural yang tidak kasat mata.

Di sinilah letak kerusakan terdalam dari korupsi. Ia bukan hanya pelanggaran norma hukum, tetapi juga perusakan terhadap mabādi’ insāniyyah—prinsip-prinsip kemanusiaan. Anak-anak yang gagal sekolah karena anggaran dikorupsi; pasien yang tak tertolong karena alat medis diakali; jalan-jalan rusak yang menewaskan pengendara; semua itu adalah bukti bahwa korupsi telah merampas hak hidup manusia secara sistematis.

Dengan demikian, sulit untuk tidak menyebut koruptor sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.

Antitesis Nilai-Nilai Agama

Agama apa pun, dalam esensinya, menolak penindasan, mengutuk ketidakadilan, dan mengharamkan pengkhianatan terhadap amanat. Dalam Islam, Al-Qur’an secara tegas mengecam pelaku fasād fī al-arḍ (kerusakan di muka bumi) dan menempatkannya dalam kategori kejahatan berat.

KH. Said Aqil Siradj, dalam banyak kesempatan, menekankan bahwa dalam Piagam Madinah, permusuhan dilarang kecuali terhadap pelaku kezaliman. Bukan terhadap mereka yang berbeda iman atau keyakinan, tetapi kepada pelanggar hukum, pengedar narkoba, dan koruptor. “Merekalah,” kata beliau, “musuh kita bersama.”

Begitu pula Gus Dur, yang pernah mengatakan bahwa negara ini tidak akan runtuh karena bencana alam atau perbedaan ideologi, tetapi oleh kerusakan moral dan praktik korupsi yang meluas. Maka, dalam logika nilai yang paling dalam, koruptor adalah antitesis dari nilai-nilai keagamaan: mereka menistakan kejujuran, merusak amanat, dan mencederai hak sesama.

Baca Juga :  Koalisi Permanen, Jalan Terjal Demokrasi

Simpati yang Salah Sasaran

Simpati kepada anak dan keluarga pelaku tentu tidak dapat dilarang. Tetapi empati dalam ruang publik, terutama dari seorang pemimpin negara, memerlukan ketelitian etis. Ketika simpati berlebihan diarahkan kepada keluarga koruptor, maka yang dikhianati bukan hanya nalar publik, tetapi juga ribuan korban tak kasat mata yang tak pernah mendapat perhatian serupa.

Tugas negara adalah memastikan keadilan substantif. Jika keluarga benar-benar tidak terlibat, maka perlindungan hukum wajib diberikan. Namun bila mereka turut menikmati atau menyembunyikan hasil korupsi, maka perlakuan hukum harus tetap ditegakkan tanpa kompromi.

Pemisahan antara pelaku dan penikmat hasil kejahatan bukanlah perkara sentimental, melainkan legal dan moral. Mengaburkan batas ini hanya akan melemahkan efek jera dan membiarkan korupsi tumbuh dalam bayang-bayang kelembutan palsu.

Sebagai bangsa, kita perlu menegaskan ulang siapa yang patut dianggap sebagai musuh bersama. Bukan perbedaan agama, bukan lawan politik, bukan pemeluk keyakinan lain, melainkan mereka yang merusak kepercayaan publik dan menjarah masa depan generasi mendatang.

Koruptor adalah musuh agama karena menodai nilai-nilai ketuhanan. Mereka adalah musuh kemanusiaan karena merampas hak hidup sesama. Dan selama kita tidak menempatkan mereka pada posisi yang semestinya, maka keadilan akan selalu menjadi impian, bukan kenyataan.*

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi
Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 
Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi
Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik
Menjaga Alam, Merawat Kehidupan
Koalisi Permanen, Jalan Terjal Demokrasi
Tag :

Baca Lainnya

Rabu, 16 April 2025 - 06:32 WIB

Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Rabu, 2 April 2025 - 13:20 WIB

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Jumat, 21 Maret 2025 - 23:34 WIB

Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi

Kamis, 20 Maret 2025 - 22:06 WIB

Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 

TERBARU

Opinia

Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Rabu, 16 Apr 2025 - 06:32 WIB

Kolomiah

Enaknya Jadi Keluarga Koruptor

Selasa, 15 Apr 2025 - 14:46 WIB