Frensia.id – KPK atau Komunitas Pemerhati Konstitusi merupakan organisasi yang berperan penting dibalik suksesnya Judicial Review yang dilakukan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di Mahkamah Konstitusi (MK).
Keberhasilan empat mahasiswa UIN Suka dalam memenangkan JR di MK terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak lepas dari peran penting KPK.
Komunitas yang notabene merupakan Badan Otonom Mahasiswa Fakultas ini menjadi tempat para mahasiswa mendalami kajian konstitusi ini terbukti menjadi pondasi kuat di balik perjuangan hukum mereka.
MK melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu, yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Enika Maya Oktavia, Pemohon I sekaligus anggota aktif KPK, menjelaskan bahwa kajian terkait Pasal 222 UU Pemilu awalnya merupakan bahan lomba debat yang diadakan oleh Bawaslu RI pada 2023.
“Awalnya, permohonan judicial review ini adalah bahan lomba debat. Alhamdulillah, kami bersama teman-teman KPK berhasil meraih juara dua. Dari situ, kami mengkaji ulang materi dan menjadikannya dasar permohonan ke MK,” ujar Enika saat diwawancarai Frensia pada Jumat Siang (03/01/2025).
Komunitas Pemerhati Konstitusi, menurut Enika sangat berpengaruh dalam proses persiapan hingga pengajuan permohonan ke MK.
“Di KPK, kami belajar banyak tentang kajian konstitusi. Komunitas ini memberikan kami bekal keilmuan yang mendalam, sehingga kami percaya diri untuk membawa isu ini ke ranah hukum,” tambah mahasiswa semester tujuh asal Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, itu.
Selain peran KPK, menurut mahasiswa semester 7 Program Studi Hukum tata Negara ini, dukungan dari pihak kampus, terutama Prodi HTN juga sangat signifikan.
“Kaprodi HTN Pak Gugun El Guyanie dan Sekretaris Prodi sangat membantu kami, baik dalam memberikan saran maupun mencarikan ahli untuk mendampingi proses di MK,” jelas Enika.
Mahasiswa asal Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah ini menjelaskan bahwa kendati menghadapi keterbatasan dalam mencari pakar yang dapat mendampingi mereka di sidang, akhirnya mereka berhasil mendapatkan dukungan dari Yance Arizona, seorang ahli konstitusi.
“Kami sempat kesulitan mencari ahli yang sesuai, tetapi untungnya Pak Yance bersedia mendampingi kami. Ini menjadi salah satu keberhasilan besar kami meski banyak tantangan,” tambah mahasiswa asal Kalteng.
Putusan MK ini menegaskan bahwa ambang batas pencalonan presiden dinilai menghambat demokrasi dan mengurangi peluang masyarakat untuk mendapatkan pilihan yang lebih beragam dalam kontestasi politik.
Ia berharap putusan MK atas permohonan mereka ini bisa memperbaiki sistem politik Indonesia menjadi lebih inklusif dan kompetitif. Sebab permohonan tersebut murni lahir dari kajian akademis dan ekpresi mahasiswa.
“Kami berharap ini menjadi langkah awal untuk memperbaiki sistem politik di Indonesia. Permohonan kami ini murni karena ekspresi kami sebagai warga negara yang lahir dari kajian akademis, tanpa ada unsur kepentingan pihak manapun,” tutup Enika.
Keberhasilan ini menjadi bukti bahwa komunitas akademik seperti KPK memiliki peran strategis dalam mendorong perubahan yang lebih baik.
Putusan MK No 62/PUU-XXII/2024 ini membuka peluang demokrasi lebih luas, memberikan kesempatan bagi partai politik kecil dan calon independen untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik nasional.
Komunitas ini tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga motor penggerak bagi generasi muda untuk berkontribusi aktif dalam menjaga demokrasi dan memperjuangkan keadilan konstitusional di Indonesia.