Frensia.id – Akar masalah dari kriminalisasi yang dialami oleh Sorbatua Siallagan adalah nihilnya perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat oleh pemerintah.
Tulis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Halaman Facebook mereka, Senin (19/8/2024).
Sebelumnya, dilansir dari laman resmi AMAN disebutkan bahwa Sorbatua Siallagan, salah seorang tetua adat Ompu Umbak Siallagan divonis dua tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar oleh Pengadilan Negeri Simalungun Sumatera Utara pada Rabu (14/8/2024).
Vonis tersebut dijatuhkan karena Sorbatua Siallagan dituduh atas pengrusakan dan penguasaan lahan di Hutan Dolok Parmonangan, padahal berdasarkan nota pembelaannya lahan yang menjadi objek sengketa sudah 11 generasi dikelola oleh leluhur adat.
Lebih lanjut, salah satu penasihat hukum dari Tim Advokasi AMAN menegaskan bahwa wilayah yang dikelola adalah tanah adat, bukan hutan negara.
Pun demikian, berdasarkan dissenting opinion atau perbedaan pendapat oleh hakim Corry Laia, yang menilai bahwa Sorbatu Siallagan seharusnya dibebaskan, mengingat sengketa lahan tersebut hanya merupakan masalah administrasi yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Pelbagai polemik tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Nyoman Guntur dalam penelitiannya yang berjudul, “Ragam Penelitian Pengakuan Formal Terhadap Penguasaan Tanah Adat di Indonesia”
Dalam penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal Tunas Agraria, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, Mei 2023 itu disebutkan bahwa meskipun terdapat pengakuan formal terhadap tanah adat di Indonesia melalui berbagai regulasi, praktik pengakuan tersebut masih belum memadai.
Pengaturan yang ada cenderung hanya mengakui objek tanah adat tanpa memberikan pengakuan yang jelas terhadap subjek dan hubungan hukum yang ada.
Menurutnya, hal tersebut terlihat dari ketidakjelasan dalam pencatatan tanah ulayat yang tidak mencakup informasi mengenai pemilik dan hak-hak pihak lain.
Selain itu, meskipun ada peluang untuk pensertipikatan tanah adat, implementasinya masih terhambat oleh regulasi yang tidak konsisten dan kurangnya pemahaman di kalangan masyarakat adat mengenai proses tersebut.
Sehingga salah satu rekomendasi utama dari penelitiannya itu, Nyoman Guntur berpendapat perlunya pengembangan dan perluasan kebijakan yang lebih inklusif dan komprehensif untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk pengakuan terhadap subjek dan hubungan hukum mereka.
Sementara itu, salah satu peraturan yang menjadi harapan masyarakat adat serta pegiat pertanahan ialah disahkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat yang tak kunjung dilegalkan sejak 2003.
Bahkan, pakar antropologi hukum dari Univeristas Airlangga (UNAIR) Surabaya Dr. Sri Endah Kinasih, dilansir website resmi kampusnya, menyebutkan bahwa sengketa-sengketa yang terjadi selama ini pun akibat dari tidak disahkannya RUU tersebut.