Frensia.id – Mahasiswa Universitas Negeri Jember (UNEJ) ditemukan tewas setelah diduga melompat dari lantai delapan gedung C-Rissh, salah satu bangunan megah di kampus tersebut. Tercatat kasus bukan satu-satunya yang telah mengguncang dunia akademik.
Insiden ini meninggalkan luka mendalam, tidak hanya bagi keluarganya korban, tetapi juga masyarakat luas, utamanya dunia akademi.
Korban, berinisial DRY, adalah mahasiswi semester tiga dari Program Studi Sosiologi asal Tulungagung. Tubuhnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di depan gedung yang menjadi saksi bisu peristiwa tragis tersebut.
Hingga kini, motif di balik tindakan nekat tersebut masih menjadi misteri. Penyidik tengah menggali lebih dalam untuk menemukan titik terang dari insiden ini.
Namun, kasus ini bukanlah yang pertama terjadi di Jember sepanjang tahun 2024. Sebelumnya, seorang alumni Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember yang sedang melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga dilaporkan mengambil langkah serupa.
Masalah menyat hati ini, bukan hanya di UNEJ, tetapi juga menyiratkan persoalan yang lebih luas, yakni semua lingkungan pendidikan tinggi.
Merespons fenomena ini, Dr. Minan Jauhari, S.Sos., M.Si., seorang pakar sosiologi dari UIN KHAS, menyampaikan keprihatinan mendalam.
Bahkan, dalam wawancaranya dengan Frensia.id, ia menyampaikan pandangan berdasarkan pemikiran Emile Durkheim, sosiolog ternama. Menurutnya, kasus bunuh diri yang berulang di berbagai tempat bukan sekadar insiden kasuistik, tetapi bisa mencerminkan persoalan yang lebih struktural dan besar.
“Jadi ketika bunuh diri itu terjadi hanya satu, dua, tiga, itu mungkin menunjukkan kasus, kasuistik. Tetapi, kalau kejadian bunuh diri itu di banyak tempat, ini harus dilihat secara general. Artinya, ini tidak hanya sekadar kasus tentatif.”jelas Dr. Minan, 25/12/2024.
Ia menambahkan bahwa fenomena ini bisa jadi mencerminkan realitas tersembunyi di balik lingkungan pendidikan.
“Misalkan peristiwa itu terjadi di lingkungan anak-anak didik, atau di lingkungan pendidikan tinggi. Bisa jadi persoalan itu menggambarkan realitas lingkungan pendidikan yang barangkali berimplikasi pada sikap psikologi mahasiswa atau elemen akademis lainnya,” ujarnya.
Menurut Dr. Minan, ada kemungkinan lingkungan pendidikan belum sepenuhnya ramah terhadap keberlangsungan perkembangan kejiwaan mahasiswa. Hal ini harus menjadi introspeksi bersama.
“Bagi orang yang memiliki kepekaan, jangan sekadar menganggap itu sebagai kasus. Tetapi harus menjadi refleksi bersama, menjadi perhatian bersama,” tegasnya.
Untuk menghadapi persoalan ini, Dr. Minan menawarkan dua pendekatan strategis. Pertama, dari sisi struktural, perguruan tinggi harus memastikan adanya biro konseling dan psikologi yang berfungsi secara optimal. Jika biro semacam itu belum ada, institusi pendidikan tinggi wajib membentuknya untuk memberikan layanan psikologi yang memadai.
“Perguruan tinggi harus memastikan jika sudah ada biro konseling dan psikologi, maka harus memaksimalkan kembali peran-perannya. Jika belum, maka paling tidak perguruan tinggi harus mampu membuat semacam institusi biro konseling dan psikologi agar persoalan psikologi itu tidak dibiarkan,” paparnya.
Pendekatan kedua adalah kesadaran kultural. Dr. Minan menekankan pentingnya tanggung jawab moral bersama di lingkungan kampus. Semua pihak – mahasiswa, dosen, dan elemen akademis lainnya – harus memiliki kesadaran kolektif untuk tidak mengabaikan gejala-gejala psikologi yang dialami orang di sekitarnya.
“Jika ada gejala-gejala yang dialami oleh teman, oleh dosen, oleh siapapun, maka gejala-gejala itu harus segera direspons cepat. Namanya deteksi dini,” tandasnya.
Menurutnya, langkah-langkah ini bukan hanya tugas institusi, tetapi juga membutuhkan peran aktif seluruh civitas akademika. Dengan kolaborasi struktural dan kultural yang kuat, ia berharap lingkungan pendidikan tinggi bisa menjadi lebih suportif, ramah, dan mendukung kesehatan mental semua elemen yang terlibat.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa bunuh diri bukanlah persoalan individu semata. Lingkungan sosial dan sistem pendidikan yang belum memadai dapat menjadi faktor pendorong. Refleksi mendalam dan aksi kolektif diperlukan agar kasus serupa tidak terus terulang.
“Ini harus menjadi perhatian bersama, jangan-jangan ada persoalan lain yang harus kita sikapi,” Pungkas dosen yang juga sebagai Wakil Dekan III Fakultas Dakwah UIN KHAS ini.
Dengan semangat itu, ia berharap semua pihak dapat mengambil pelajaran, peran dan melangkah bersama untuk menciptakan kampus yang lebih peduli dan manusiawi.