Makna Haji Dalam Takaran Filosofis (Part I)

Selasa, 21 Mei 2024 - 20:12 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id –Sebagai sebuah ibadah, Haji tidak hanya dimaknai kewajiban. Namun harus dilihat dari lanskap esensi haji pada aspek sosialnya.

Cukup disayangkan jika pelaksanaan ibadah haji hanya terfokus pada pemenuhan syarat-rukun saja, tidak menyelami setiap rukun tersebut.

Tulisan ini mencoba menakar makan filosofis dari pelaksanaan ibadah haji tersebut. Bagian pertama ini mengulas dua rukun haji, yakni Ihram dan wuquf. Untuk rukun yang lainnya akan penulis elaborasi di bagian selanjutnya.

Pertama, Ihram

Dalam Kitab Fathul Qaribil Mujib  rukun haji pertama, ihram, yaitu berniat untuk haji. Saat berihram semua pakaian baik itu bermerk top atau pakaian biasa harus dilepas dan memakai pakaian ihram.

Pakaian berupa lembaran kain yang dililitkan ke tubuh, biasanya berwarna putih dan tidak dijahit bagi laki-laki, sementara bagi perempuan pakaian yang menutup aurat.

Kenapa harus mengganti pakaian? Haji, ibadah satu-satunya dari rukun Islam yang hanya mengharuskan melepaskan pakaian pribadi dan memakai pakaian khusus (ihram). Ihwal tersebut, menurut Ali Syariati karena pakaianlah yang menutupi watak manusia.

Ia menyebutkan pakaian menunjukkan pola, preferensi, status dan perbedaan. Menciptakan ”batas” palsu akhirnya membuat perpecahan antar manusia, sehingga menimbulkan “aku” bukan “kami.”

Baca Juga :  Ragam Tradisi Muharram di Berbagai Negara

Filosofisnya, pakaian ihram melambangkan kesetaraan dan kesamaan. Melepaskan atribusi status sosialnya, harta dan kedudukan dihadapan Tuhan.

Jika dihadapan Tuhan saja atribusi semacam itu harus dilepas, maka dihadapan sesama manusia mestinya lebih tidak layak dipakai.

Segala atribusi pangkat, harta dan status sosial lainya sifatnya hanya hak pakai, bukan milik. Ada limitasi waktu untuk melepaskan itu semua, yakni ketika menjadi giliran menghadap sang khalik.

Itulah ihram, seluruh fasilitas dan atribusi hidup pada akhirnya mau tidak mau harus dilepaskan.

Kedua, Wukuf di Arafah

Waktu pelaksanaannya mulai dari zuhur tanggal 9 Dzulhijjah sampai subuh tanggal 10 Dzulhijjah.

Dikutip dari Nu.Online, Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Idhah fi Manasikil Hajji menyatakan, jamaah haji yang berada di Arafah pada rentang waktu wukuf yang telah ditentukan meski sejenak, dianggap sah wukufnya dan dianggap telah melaksanakan ibadah haj.

Secara bahasa wukuf bisa dipahami berhenti sejenak. Apa maknanya, dalam banyak literatur disebutkan melambangkan berhenti menuruti nafsu duniawi.

Sementara arafah dimaknai mengetahui, yakni merenung untuk mengetahui kekurangan diri sendiri dan semakin mengenal Tuhan.

Jadi, wukuf di arafah ini pada takaran filosofinya melambangkan berhenti dari kesenangan nafsu duniawiyah agar semakin paham dan mengerti hakikat hidup yang selaras dengan ketentuan Allah swt. Taraf memahami diri sendiri dan mengenal Tuhan inilah puncak pengetahuan manusia.

Baca Juga :  Antara Sanggan dan Doa: Wajah Sosial dari Tradisi Ziarah Haji

Supaya bisa meraih titik puncak pengetahuan tertinggi ini, setiap manusia (jamaah haji) banyak melakukan kontemplasi atau perenungan. Bersikap jujur membuka diri dihadapan Tuhannya mengenai prilakunya dan mengharap kasih sayang-Nya.

Merenung kenapa masih sulit untuk beribadah, apakah seluruh fasilitas dan atribusi hidup sudah memberikan manfaat bagi orang sekitar? Jabatan yang dimiliki apakah sudah melindungi dan mambantu rakyat kecil? Hartanya sudahkah membantu tetangganya khususnya fakir miskin, dan perenungan lainnya.

Tidak hanya itu, perbuatan baik pun tidak boleh luput dari perenungan wukuf di arafah ini. Apakah amal baik, kewajiban yang sudah dilakukan murni karena Allah, atau justru mengejar penilaian dan popularitas manusia?

Dari kontemplasi itu akan muncul kesadaran untuk menempatkan diri sebagai pribadi yang lebih baik. Mengistigfari kesalahan dan kebaikan yang sudah dilakukan.

Itulah momentum wukuf di arafah, setiap muslim yang melaksanakannya akan menyadari kelemahan dan keterbatasannya.

Sehingga ketika kembali ke tempat masing-masing, mereka menjadi pribadi muslim yang sholeh dan musleh (pribadi yang bermanfaat agi manusia lainnya).(*)

*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Dar Al Falasifah)

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Bersama KUA Kaliwates, UIN KHAS Jember Tegaskan Aksi Nyata Moderasi Lintas Agama
Ragam Tradisi Muharram di Berbagai Negara
Tahun Baru Hijriah dan Segelas Susu Putih: Warisan Spiritual Abuya Sayyid Muhammad
Antara Sanggan dan Doa: Wajah Sosial dari Tradisi Ziarah Haji
Pondok Pesantren Fathur Rahman Gelar Wisuda Kitab Kuning dan Resmikan Cabang MAKTUBA di Jember
Sinergi! Kemenag dan LD PBNU Kuatkan Kesadaran Ekoteologi Melalui Masjid
Tawadhu’! Pengasuh Pesantren Nurul Jadid Bicara Tentang Titel Pendidikannya
SMART, Tawaran Strategis Prof Hepni, Saat Hadiri Sosialisasi Percepatan Sertifikasi Tanah Wakaf

Baca Lainnya

Rabu, 6 Agustus 2025 - 15:54 WIB

Bersama KUA Kaliwates, UIN KHAS Jember Tegaskan Aksi Nyata Moderasi Lintas Agama

Kamis, 26 Juni 2025 - 19:47 WIB

Ragam Tradisi Muharram di Berbagai Negara

Kamis, 26 Juni 2025 - 14:44 WIB

Tahun Baru Hijriah dan Segelas Susu Putih: Warisan Spiritual Abuya Sayyid Muhammad

Rabu, 25 Juni 2025 - 14:12 WIB

Antara Sanggan dan Doa: Wajah Sosial dari Tradisi Ziarah Haji

Senin, 16 Juni 2025 - 19:16 WIB

Pondok Pesantren Fathur Rahman Gelar Wisuda Kitab Kuning dan Resmikan Cabang MAKTUBA di Jember

TERBARU

Gambar Wamen Pariwisata Sebut JFC Merupakan Panggung Carnaval Dunia (Sumber: Gita Pamuji)

Destinia

Wamen Pariwisata Sebut JFC Merupakan Panggung Carnaval Dunia

Minggu, 10 Agu 2025 - 20:13 WIB

Gambar Bupati Fawait Janji Acara JFC Tahun Depan Lebih Meriah (Sumber: Gita Pamuji)

Regionalia

Bupati Fawait Janji Acara JFC Tahun Depan Lebih Meriah

Minggu, 10 Agu 2025 - 20:06 WIB