Frensia.id – Setiap kali Ramadhan datang, umat Islam ramai membicarakan zakat. Ada yang mengingatkannya di mimbar masjid, ada yang mempromosikan platform donasi digital, dan ada juga yang sibuk menghitung-hitung apakah saldo rekeningnya sudah memenuhi nisab atau belum. Namun, di tengah rutinitas tahunan ini, pernahkah kita bertanya: mengapa kita berzakat?
Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin menjelaskan bahwa zakat bukan sekadar transaksi keuangan antara si kaya dan si miskin. Ia adalah manifestasi spiritual yang memiliki tiga dimensi mendalam: totalitas cinta kepada Allah, pembersihan jiwa dari sifat kikir, dan wujud rasa syukur atas nikmat yang diterima.
Zakat sebagai Wujud Cinta
Menurut al-Ghazali, semakin tinggi tingkat spiritual seseorang, semakin besar pula cintanya kepada Allah. Dan cinta selalu menuntut pengorbanan. Kita rela menghabiskan waktu untuk orang yang kita kasihi, bahkan tak ragu mengorbankan harta untuknya. Maka, ketika seseorang dengan ikhlas mengeluarkan zakat, itu bukan sekadar ketaatan terhadap aturan agama, melainkan juga ekspresi cintanya kepada Tuhan.
Tapi realitanya, tak semua orang memahami zakat dengan cara ini. Bagi sebagian orang, zakat masih dianggap sebagai ‘pajak’ tahunan yang harus dikeluarkan dengan perasaan berat hati. Ada yang sibuk mencari ‘cara paling hemat’ dalam membayar zakat, ada yang enggan menunaikannya karena merasa sudah banyak membantu orang dalam bentuk lain. Zakat yang seharusnya menjadi simbol cinta, malah berubah menjadi kewajiban administratif belaka.
Menaklukkan Kikir, Memenangkan Kemanusiaan
Al-Ghazali juga menyebut bahwa zakat adalah cara terbaik untuk melawan sifat kikir. Sebab, manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan mencintai harta. Kita sulit melepaskan sesuatu yang kita anggap bernilai. Namun, seperti halnya seorang anak yang awalnya enggan berbagi mainan tapi lama-lama terbiasa, begitu pula dengan zakat. Semakin sering kita memberi, semakin lunak hati kita terhadap kebutuhan orang lain.
Sayangnya, tak sedikit yang berzakat dengan sikap ala kadarnya. Zakat dianggap seperti ‘tiket masuk surga’ yang cukup dibayarkan sekali setahun, lalu urusan selesai. Padahal, esensi zakat justru ada dalam perubahan diri: bagaimana kita bisa lebih peduli, lebih ringan tangan dalam membantu, dan lebih rendah hati dalam memandang dunia.
Ada ironi di sini. Di bulan Ramadhan, umat Islam ramai-ramai berbicara tentang zakat, tapi di saat yang sama, kesenjangan sosial tetap terasa tajam. Makanan melimpah di meja berbuka kaum elite, sementara kaum miskin masih berjuang sekadar untuk membeli takjil sederhana. Jika zakat benar-benar dijalankan dengan pemahaman yang mendalam, seharusnya tak ada lagi anak-anak yang tertidur dalam kelaparan di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim.
Syukur yang Berbuah Kesejahteraan
Dimensi ketiga dari zakat adalah sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah. Kita sering kali menganggap syukur cukup dengan mengucapkan ‘Alhamdulillah’ atau menunaikan ibadah ritual. Padahal, syukur sejati membutuhkan tindakan nyata. Al-Ghazali mengajarkan bahwa harta yang kita miliki adalah titipan, dan zakat adalah cara untuk memastikan bahwa titipan itu tidak hanya mengalir kepada kita, tapi juga memberi manfaat bagi orang lain.
Sayangnya, sebagian dari kita masih memahami zakat dalam kerangka individual: membayar, lalu selesai. Padahal, zakat adalah instrumen sosial. Dalam sejarah Islam, zakat pernah menjadi alat distribusi kekayaan yang efektif. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sistem zakat yang dijalankan dengan baik bahkan membuat negara kekurangan penerima zakat.
Hari ini, potensi zakat di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Jika dikelola dengan baik, zakat bisa menjadi solusi nyata bagi kemiskinan struktural. Namun, tanpa kesadaran kolektif dan sistem yang transparan, zakat hanya akan menjadi formalitas tahunan yang kehilangan ruhnya.
Lebih dari Sekadar Kewajiban
Imam al-Ghazali memberi kita pelajaran bahwa zakat bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga ibadah yang membentuk karakter dan peradaban. Jika kita benar-benar memahami makna zakat, kita tak hanya akan menunaikannya dengan ringan, tapi juga akan melihatnya sebagai bagian dari perjuangan sosial yang lebih besar.
Maka, mari berzakat bukan karena takut dosa atau sekadar menggugurkan kewajiban, tapi karena kita ingin meneguhkan cinta, menaklukkan ego, dan memperjuangkan keadilan sosial. Sebab, pada akhirnya, zakat bukan hanya tentang berapa banyak yang kita berikan, tetapi juga tentang bagaimana kita mengubah dunia dengan memberi.