Frensia.id– Isra’ Mi’raj bukanlah peristiwa yang hanya menginspirasi keimanan, tetapi juga menggugah epistemologi manusia tentang realitas. Perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsa, dan dari sana ke Sidratul Muntaha, membuka cakrawala pemahaman bahwa kehidupan tidak sekadar beroperasi pada hukum-hukum fisika.
Ia adalah peristiwa transenden yang menjadi pintu bagi umat manusia untuk merenungi bahwa ada dimensi-dimensi lain yang melampaui logika linear manusia.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Isra: 1, perjalanan ini menunjukkan kebesaran Allah SWT sekaligus meneguhkan posisi Rasulullah SAW sebagai utusan yang membawa kebenaran ilahi. Namun, lebih dari itu, Isra’ Mi’raj adalah momen yang menginterogasi asumsi manusia tentang batasan logis.
Pada masa itu, masyarakat terbatas pada persepsi yang hanya mengenal kuda sebagai kendaraan tercepat. Maka, bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW menempuh perjalanan yang melampaui ruang dan waktu dalam satu malam?
Dalam konteks ini, Isra’ Mi’raj menantang nalar manusia untuk berpikir melampaui kebiasaan empiris. Dunia modern hari ini justru memberikan bukti bahwa apa yang dahulu dianggap mustahil kini menjadi mungkin.
Teknologi komunikasi, perjalanan antariksa, dan eksplorasi dimensi-dimensi kuantum adalah bukti bahwa logika manusia selalu berkembang, tetapi tetap terbatas. Maka, jika teknologi saja mampu mendekatkan manusia kepada hal-hal yang dulunya tak terpikirkan, bagaimana dengan kuasa Tuhan yang tak berbatas?
Peristiwa ini mengajarkan manusia bahwa iman bukanlah lawan dari logika, tetapi jalan menuju epistemologi yang lebih tinggi. Syekh At-Thanthawi dalam Tafsir al-Wasith menjelaskan bahwa Isra’ Mi’raj memperlihatkan kebesaran Allah SWT untuk menguatkan keimanan Nabi.
Selain itu, peristiwa ini juga mengajarkan bahwa keimanan adalah sarana untuk melampaui keterbatasan manusia. Keimanan tidak membatasi logika, tetapi justru menjadi dasar untuk mengeksplorasi dimensi realitas yang lebih luas.
Di era modern ini, banyak umat Islam yang mencoba merasionalkan Isra’ Mi’raj dengan pendekatan saintifik, misalnya membandingkannya dengan teori relativitas Einstein atau konsep wormhole dalam fisika kuantum. Pendekatan ini, meski menarik, harus disadari sebagai upaya manusia untuk memahami sesuatu yang melampaui kapasitasnya.
Peristiwa ini bukan sekadar soal perjalanan fisik, tetapi tentang pesan spiritual bahwa Allah SWT adalah Maha Kuasa dan Maha Mengatur segala sesuatu.
Lebih jauh, Isra’ Mi’raj bukan hanya peristiwa teologis, tetapi juga revolusi sosial. Pesan-pesan yang diterima Nabi dalam perjalanan ini, seperti perintah salat, bukan sekadar ritual individual, melainkan fondasi bagi masyarakat yang berkeadilan. Salat adalah simbol bahwa keadilan dimulai dari kesadaran vertikal manusia kepada Tuhan, yang kemudian diterjemahkan ke dalam keadilan horizontal kepada sesama manusia.
Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh egoisme, materialisme, dan sekularisme, Isra’ Mi’raj adalah pengingat bahwa keberhasilan manusia tidak diukur dari sejauh mana ia menaklukkan dunia, tetapi sejauh mana ia tunduk kepada Tuhan. Peristiwa ini mengajarkan bahwa perubahan sosial yang hakiki dimulai dari revolusi spiritual.
Isra’ Mi’raj juga mengajarkan untuk meredefinisi cara pandang terhadap kemajuan. Dalam masyarakat modern yang terobsesi dengan kecepatan dan efisiensi, Isra’ Mi’raj menunjukkan bahwa perjalanan terpenting manusia bukanlah ke luar angkasa, tetapi ke dalam diri. Keberhasilan spiritual adalah fondasi bagi keberhasilan duniawi.
Maka, Isra’ Mi’raj tidak hanya berbicara kepada Muslim abad ke-7, tetapi juga kepada mana kini. Ia adalah seruan untuk mengintegrasikan keimanan dengan logika, spiritualitas dengan sains, dan Tuhan dengan kehidupan sehari-hari.
Hanya dengan itu, kehadiran isra mi’raj dapat menciptakan dunia yang tidak hanya maju secara teknologi, tetapi juga bermartabat secara moral. Isra’ Mi’raj adalah ajakan untuk melampaui. Bukan sekadar melampaui langit seperti Nabi, tetapi melampaui keterbatasan diri menuju Tuhan, menuju keadilan, dan menuju kemanusiaan yang paripurna.