Frensia.id – Tanggal 29 April diperingati sebagai Hari Posyandu. Di tengah gempuran isu-isu besar seputar sistem kesehatan nasional, Posyandu kerap luput dari ruang percakapan publik. Padahal, di sana justru denyut paling awal dari pelayanan kesehatan masyarakat bergetar: dari timbang bayi, konsultasi gizi, hingga imunisasi. Di sanalah pendidikan kesehatan dasar bersemayam, bukan di ruang seminar atau rumah sakit megah.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Rizky Abdilah, “Meningkatkan Kemandirian Kesehatan Masyarakat Melalui Peningkatan Kapasitas Kader Posyandu sebagai Agen Perubahan”, menyuguhkan data yang membesarkan hati sekaligus mengetuk kesadaran. Pelatihan terstruktur kepada kader Posyandu mampu meningkatkan kapasitas mereka secara signifikan: pengetahuan naik 30 persen, keterampilan komunikasi melonjak 35 persen, dan pemahaman tentang gizi serta imunisasi menguat 30 persen. Semua itu berujung pada satu hal: masyarakat yang lebih mandiri menjaga kesehatan keluarganya.
Temuan ini sebetulnya menegaskan apa yang telah lama diyakini para praktisi kesehatan masyarakat: bahwa kader Posyandu adalah simpul sosial yang tak tergantikan. Mereka tidak hanya membagikan kapsul vitamin A atau mencatat berat badan bayi. Mereka menyulam kepercayaan, menjembatani nalar medis dengan bahasa lokal, dan menjadi agen perubahan di tempat yang paling vital—komunitas.
Namun, narasi besar pembangunan kesehatan nasional belum sepenuhnya memayungi mereka. Kader Posyandu masih acap ditempatkan sebagai pelengkap administratif, bukan subjek utama strategi kesehatan berbasis masyarakat. Padahal, dengan memperkuat mereka, kita sejatinya sedang memperkuat daya tahan kesehatan nasional dari bawah.
Lebih dari sekadar pelatihan teknis, yang dibutuhkan adalah ekosistem pendukung yang berkelanjutan: insentif yang layak, jejaring kolaborasi dengan puskesmas dan perguruan tinggi, serta pengakuan formal yang memuliakan kerja sosial mereka. Sudah waktunya pemerintah daerah tidak hanya melihat Posyandu sebagai pos kegiatan rutin bulanan, tetapi sebagai laboratorium sosial yang terus memperbarui praktik-praktik kesehatan berbasis warga.
Kita hidup dalam masa ketika sentralisasi solusi kesehatan makin diragukan efektivitasnya. Pandemi memberi pelajaran bahwa ketangguhan komunitas adalah tembok pertahanan pertama. Di sinilah kader Posyandu menemukan relevansinya kembali—sebagai penjaga pertama kesadaran, pencegahan, dan ketahanan.
Maka, memperingati Hari Posyandu bukan hanya soal mengingat tanggal. Ini tentang melihat ulang prioritas kita dalam membangun sistem kesehatan yang tak semata klinis, tapi juga komunitarian. Ketika negara terlalu besar untuk menjangkau tiap gang kecil, kader Posyandu telah lama ada di sana—mengetuk pintu, menyapa dengan nama, dan menanyakan kabar balita.
Sudah saatnya negara membalas sapaan itu, bukan dengan seremoni, tetapi dengan strategi.