Frensia.id – Mencengangkan! Sebuah fakta mengejutkan terungkap dari hasil penelitian kolaboratif yang dilakukan oleh sejumlah pemerhati bunuh diri baik dari dalam maupun luar negeri. Studi tersebut mengungkap bahwa kasus bunuh diri di Indonesia lebih banyak terjadi di pedesaan dibandingkan perkotaan.
Hal ini menambah kompleksitas upaya pencegahan bunuh diri di negara dengan populasi terbesar keempat di dunia ini.
Penelitian yang diterbitkan oleh Elsevier Ltd. pada 2024 ini melibatkan berbagai ahli dari lembaga nasional dan internasional, di antaranya Sandersan Onie (Australia), Yuslely Usman, Retno Widyastuti, Merry Lusiana, Tri Juni Angkasawati, Dede Anwar Musadad (Kementerian Kesehatan RI), Jessica Nilam (Perhimpunan Penanggulangan Bunuh Diri Indonesia), Ashra Vinad (Mata Air Indonesia), Rizal Kamsurya (MNC), serta para akademisi seperti Philip Batterham (Universitas Nasional Australia), Vikas Arya dan Jane Pirkis (Universitas Melbourne), serta Mark Larsen (UNSW Sydney).
Para peneliti mengangkat kekhawatiran tentang keterbatasan data akurat yang selama ini menjadi penghalang dalam pencegahan bunuh diri berbasis bukti di Indonesia. Melalui kemitraan dengan pemerintah nasional, mereka berhasil memperoleh data nonpublik terkait kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri untuk dianalisis secara mendalam.
Penelitian tersebut menggunakan data dari lima sumber utama, yaitu data kepolisian, registrasi kematian, survei provinsi, sistem registrasi sampel, dan Observatorium Kesehatan Global WHO (WHO GHO). Data yang dikumpulkan mencakup periode 2016 hingga 2021, memberikan wawasan penting tentang angka yang tidak dilaporkan, metode yang digunakan, hingga distribusi geografis kasus.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat ketidakterlaporan yang mencengangkan, mencapai 859,10%. Bahkan dengan otopsi verbal dan peningkatan kendali mutu, cakupan pelaporan hanya naik dari 12,80% menjadi 51,40%. Provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi meliputi Bali, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah.
Namun, yang paling mencengangkan adalah temuan bahwa tingkat bunuh diri di pedesaan 4,47 kali lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Peneliti mencatat bahwa kawasan pedesaan sering kali memiliki kepercayaan mistis yang kuat, yang turut memengaruhi pola bunuh diri dan metode yang digunakan. Gantung diri dan keracunan menjadi metode paling umum.
Secara gender, rasio kasus bunuh diri menunjukkan dominasi laki-laki dibandingkan perempuan, dengan rasio 1:2,11. Fakta ini memunculkan tantangan baru untuk memahami faktor-faktor sosial dan budaya yang berkontribusi pada perbedaan ini.
Para peneliti menekankan pentingnya pendekatan yang peka terhadap budaya dan kondisi lokal untuk menanggulangi masalah ini. Mereka juga menggarisbawahi perlunya intervensi yang lebih terarah di tingkat subnasional, terutama di provinsi-provinsi dengan tingkat bunuh diri tinggi.
Studi ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman bunuh diri di Indonesia. Selain mengungkap tingkat ketidakterlaporan yang sangat tinggi, penelitian ini juga menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan data yang lebih akurat dan sistem pencegahan yang terintegrasi.
Dengan hasil ini, diharapkan kebijakan pemerintah dan upaya masyarakat dalam menangani isu bunuh diri dapat lebih efektif. Kesadaran kolektif diperlukan untuk menjadikan isu ini sebagai prioritas nasional, terutama di daerah pedesaan yang masih rentan terhadap faktor-faktor pemicu bunuh diri.
Melalui kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat, harapan akan terwujudnya pendekatan pencegahan yang berbasis data mulai tampak nyata. Semoga temuan ini menjadi titik balik bagi penanganan bunuh diri di Indonesia.