Mengunjungi Khaibar, KH. Afifuddin Muhajir Sampaikan Dua Hal Penting Ini Terkait Daerah Tersebut

KH Afifuddin Muhajir
KH Afifuddin Muhajir saat berada di Khaibar (Sumber: Instagram @muhajirafifuddin)

Frensia.id –  KH. Afifuddin Muhajir membagikan reels melalui akun Instagram pribadinya, bahwa beliau sedang berada di daerah Khaibar, sebuah daerah yang terletak sekitar 150 kilometer dari Kota Madinah, Senin (25/2).

Menurut kiai yang akrab dipanggil Kiai Afif setidaknya ada dua hal penting untuk diingat terkait daerah ini.

Pertama, Ghazwah (perang) khaibar. Sebuah perang yang terjadi antara kaum muslimin melawan orang-orang kafir Yahudi yang terjadi pada tahun ke-7 Hijriyah.

Bacaan Lainnya

Pada perang tersebut, pasukan kaum muslimin dapat memenangkannya, sekalipun jumlah pasukan hanya berjumlah sekitar 1600 melawan pasukan Yahudi yang berjumlah 10.000.

Sebagai informasi, benteng khaibar yang dimiliki oleh kaum Yahudi saat itu merupakan yang sangat kuat dan kokoh serta memiliki system pertahanan yang berlapis-lapis. Bahkan, pasukan Romawi yang dikenal lebih kuat saat itu belum tentu dapat membobolnya.

Akan tetapi, berkat keteguhan iman dan keyakinan Rasulullah yang hanya dengan pasukan yang tidak seimbah secara jumlah dapat menaklukannya berkat pertolongan dari Allah SWT. Bahkan, pasukan berkuda yang dipimpin Rasulullah saat perang Khaibar hanya berjumlah 200 orang.

Kedua, Tamr (kurma) khaibar. Kiai yang sekarang menjadi Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ ini bercerita bahwa pada suatu ketika Rasulullah mengirim seorang sahabat untuk menjalankan tugas di daerah Khaibar.

Kemudian, sahabat tersebut kembali ke Madinah menghadap Rasulullah dengan membawa kurma yang sangat baik, yang disebut dengan Tamr Janib.

Karena penasaran lalu Rasulullah bertanya, “Apakah kurma khaibar itu bagus seperti ini semua?

Sahabat tadi menjawab, “tidak wahai Rasulullah, di Khaibar juga ada kurma yang juga ada yang jelek. Kurma dua sha’ yang jelek ditukar dengan satu sha’ yang baik”.

Mendengar hal tersebut Rasulullah menanggapi bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Dari peristiwa ini menurut Kiai Afif dapat diambil Pelajaran, bahwa makanan ditukar dengan makanan harus dengan ukuran yang sama. Satu sha’ ditukar dengan satu sha’ atau satu kilo ditukar dengan satu kilo, yang kemudian ini dalam fiqh disebut dengan Riba. Wallahu A’lam Bisshawab…