Merdeka Belajar atau Terkungkung? Mencari Jalan Tengah Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum

Selasa, 20 Mei 2025 - 19:49 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar Merdeka Belajar atau Terkungkung? Mencari Jalan Tengah Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum (Sumber; Grafis Frensia)

Gambar Merdeka Belajar atau Terkungkung? Mencari Jalan Tengah Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum (Sumber; Grafis Frensia)

Oleh: Halimatus Sa’diyah, M.Pd*

Frensia.id- Di tengah semangat “Merdeka Belajar” yang digaungkan Kementerian Pendidikan, muncul pertanyaan mendasar: apakah sistem kurikulum Indonesia sudah benar-benar merdeka? Ataukah kita masih terkunci dalam warisan sistem sentralisasi kurikulum, yang seragam dari Sabang sampai Merauke tanpa banyak ruang untuk inovasi lokal?

Kurikulum Sentralisasi: Pemerataan, tapi Kurang Kontekstual

Sentralisasi kurikulum selama puluhan tahun di Indonesia dimaksudkan untuk memastikan keseragaman mutu pendidikan. Tidak ada salahnya dan benar adanya tujuan itu penting, apalagi di negara kepulauan yang begitu beragam. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa satu kurikulum nasional tidak selalu cocok untuk semua daerah. Sekolah di pedalaman Papua tentu menghadapi tantangan berbeda dengan sekolah di pusat Jakarta. Sehingga akhirnya ketimpangan terjadi.

Guru-guru kerap mengeluhkan bahwa materi ajar terlalu padat, kurang relevan dengan kebutuhan lokal, dan menghambat kreativitas. Bahkan, tidak jarang sekolah hanya sekadar mengejar kelulusan standar, bukan pemahaman mendalam atau pembelajaran bermakna.

Desentralisasi Kurikulum: Belajar dari Amerika

Negara seperti Amerika Serikat justru menerapkan desentralisasi penuh. Kurikulum disusun oleh negara bagian atau distrik sekolah, sehingga guru dan kepala sekolah memiliki kebebasan besar untuk menyesuaikan materi dengan kebutuhan siswa dan karakter komunitasnya.

Baca Juga :  Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan

Pada masa modern, banyak negara bagian di Amerika menerapkan standar nasional sukarela seperti Common Core State Standards (CCSS), terutama dalam bidang matematika dan bahasa Inggris. Namun, tidak semua negara bagian mengadopsinya secara penuh, karena adanya otonomi lokal dalam pendidikan. Menurut 7 “the existence of 50 different educational systems makes the U.S. a unique example of curricular diversity and educational experimentation” (Kolb, 1984).

Meskipun tidak memiliki kurikulum nasional, banyak negara bagian mengadopsi Common Core State Standards (CCSS) sebagai acuan dalam bidang matematika dan literasi (Welton, 2018).

Hasilnya? Di satu sisi, ada kebebasan dan inovasi tinggi. Tapi di sisi lain, kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah bisa sangat mencolok dapat terlihat dari Sumber daya dan kualitas yang berbeda. Inilah tantangan utama dari desentralisasi: ketika terlalu longgar, standar nasional bisa runtuh, dan pendidikan menjadi tidak merata.

Kurikulum Merdeka: Jalan Tengah yang Perlu Diperkuat

Kurikulum Merdeka yang sedang diterapkan di Indonesia saat ini sebenarnya mencoba mengambil jalan tengah. Guru diberikan keleluasaan untuk menyusun pembelajaran berbasis proyek, konteks lokal, dan kebutuhan murid. Ini adalah arah yang sangat baik.

Baca Juga :  Wisuda Sekolah Menengah: Antara Gengsi, Tradisi, dan Edukasi

Namun, tantangannya adalah kesiapan guru dan sekolah dalam memanfaatkan kebebasan ini. Banyak guru masih terbiasa dengan sistem instruktif yang serba terpusat. Tanpa pelatihan dan dukungan memadai, desentralisasi justru bisa membingungkan dan menurunkan mutu pembelajaran.

Menuju Desentralisasi yang Bertanggung Jawab

Merdeka Belajar seharusnya bukan sekadar slogan, melainkan transformasi budaya pendidikan. Jika kita ingin melangkah ke arah desentralisasi kurikulum yang sehat, maka:

  • Guru perlu diberdayakan, bukan hanya dituntut.
  • Pemerintah harus menyediakan pedoman fleksibel yang tetap menjaga mutu.
  • Sekolah perlu diberi otonomi yang bertahap, disertai pendampingan.
  • Evaluasi pendidikan harus lebih berbasis proses dan konteks lokal, bukan hanya angka nasional.

Pendidikan yang merdeka bukan berarti pendidikan yang liar tanpa arah. Tapi justru pendidikan yang menghormati keberagaman, memberi ruang tumbuh, dan menjaga standar bersama. Jalan tengah antara sentralisasi dan desentralisasi bukan sekadar kompromi teknis, tetapi fondasi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih relevan, adil, dan bermakna.

Penulis : *Penulis adalah mahasiswa Program Doktoral Universitas Negeri Surabaya Program Studi Teknologi Pendidikan dan juga Dosen di STAI Cendekia insani, Situbondo.

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Kepemimpinan, Dinamika Dan Pengaruhnya Terhadap Stagnasi Organisasi
Wisuda Sekolah Menengah: Antara Gengsi, Tradisi, dan Edukasi
Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan
Meluruskan Makna Kemanusiaan
Koruptor, Musuh Agama dan Kemanusiaan
Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi

Baca Lainnya

Selasa, 20 Mei 2025 - 19:49 WIB

Merdeka Belajar atau Terkungkung? Mencari Jalan Tengah Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum

Senin, 19 Mei 2025 - 16:45 WIB

Kepemimpinan, Dinamika Dan Pengaruhnya Terhadap Stagnasi Organisasi

Jumat, 16 Mei 2025 - 03:57 WIB

Wisuda Sekolah Menengah: Antara Gengsi, Tradisi, dan Edukasi

Kamis, 24 April 2025 - 21:45 WIB

Fatayat NU, Geliat Perempuan dan Wajah Keadilan

Jumat, 18 April 2025 - 06:34 WIB

Meluruskan Makna Kemanusiaan

TERBARU

Kolomiah

Ekoteologi Dan Iman Yang membumi

Selasa, 20 Mei 2025 - 20:22 WIB