Frensia.id – Wajah sumringah perempuan nampaknya bersinar bingar pasca dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) memutuskan memberhentikan ketua KPU Hasyim As’ari atas tuduhan asusila terhadap perempuan yang menjadi anggota panitia pemilihan luar negari.
Keberanian ini dianggap langkah progresif menuju keadilan perempuan –khususnya dalam lingkungan kerja pemilu–.
Sontak, keputusan DKPP ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan seperti Komnas Perempuan. Bahkan komisi yang berperan sebagai pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan ini menggelar pernyataan sikap.
Salah satu poinnya selain mengapresiasi keberanian mendukung langkah korban untuk mengklaim hak keadilan, juga mengajak menyuarakan semua pihak termasuk masyarakat untuk turut mendukung upaya penguatan akses korban pada Keadila.
selain Komnas Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik juga menyambut baik keputusan DKPP yang tertuang dalam putusan No. 90-PKE-DKPP/V/2024. Bahkan putusan DKPP tersebut harus dijadikan pijakan bagi penguatan tata kelola Pemilu agar bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
Kasus kekerasan seksual oleh Ketua KPU ini dapat dipakai dalam menganalisis kerentanan korban yang sama diberbagai institusi dan birokrasi lainnya.
Keputusan DKPP ini menunjukkan sebuah keberanian untuk menempatkan perempuan mendapatkan keadilan. Terlebih posisi pengadu seorang perempuan yang kelas atau pekerjaannya terpaut jauh dibawah teradu. Dalam batas penalaran yang wajar, jelas akan sangat mungkin mendapatkan bujuk raya bahkan intimidasi.
Keberanian ini harus dijadikan contoh dan replika keadilan dalam institusi dan birokrasi, dan tempat kerja yang tidak diskriminatif. Sebagai pijakan untuk mengamati kerentanan korban yang memiliki nasib yang sama dalam tempat kerja atau instusi lainnya yang terpasung atas relasi kuasa.
Mengutip dari situs Rifka Annisa, sebuah organisasi non pemerintah yang berkomitmen pada penghapusan dan kekerasan terhadap perempuan, menyebutkan relasi kuasa yang tidak setara terjadi ketika pelaku memiliki posisi yang lebih dominan.
Dalam situs Rifka Annisa tersebut menuangkan buku sexual assault in Context: Teaching College Men About Gender karya Christoper Kilmartin (2001) menjelaskan bahwa kebanyakan kasus relasi kekerasan seksual bukanlah hasil dari kesalahpahaman antara kdua belah pihak. Namun kekerasan ini lebih merupakan suatu terjadi karena direncanakan oleh pelaku dengan sadar bahwa dirinya memliki kuasa.
Foucault, M. melalui karyanya Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas seperti dikutip oleh Sumintak dalam Analisis Relasi Kuasa Michel Foucault disebutkan relasi kuasa sebagai satu modus yang menyebabkan kekerasan seksual dengan pola yang kian kompleks.
Misalnya kekerasan seksual yang dilakukan dosen pada mahasiswanya, pemuka agama pada santri/jamaahnya, rentenir pada pengutang, orang tua pada anaknya dan atasan pada bawahannya. Pada konteks yang akhir ini bisa berupa pengusaha/pemilik usaha pada anak buahnya/tenaga kerja atau dalam birokrasi dari pihak yang jabatannya berada diatasnya pada bawahannya.
Relasi kuasa yang tidak setara semacam ini akan sangat memungkin untuk melancarkan nafsu pribadinya dengan menyalahgunakan jabatan dan mengasosiasikan diri melalui kekuasaannya. Sekalipun tidak dengan cara intimidasi dengan tekanan, ancaman, menakut-nakuti, tindakan asusila dari relasi kuasa yang merugikan perempuan juga secara halus seperti rayuan, pujian, perhatian agar melakukan sesuatu yang mereka inginkan.
Foucault, M. dalam karyanya Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas seperti dikutip oleh Sumintak mengungkapkan kekuasaan berhasil melingkupi bentuk-bentuk yang paling halus dan paling pribadi dari perilaku seksual, dan melalui jalan mana kekuasaan berhasil mencapai berbagai bentuk birahi yang paling langka dan paling terselubung, serta bagaimana kekuasaan dapat merambah dan mengendalikan kenikmatan seksual itu.
Relasi kuasa yang tidak sepadan dan sebanding ini harus diputus dan tidak dibiarkan terus-terusan ada, memutus relasi ketidakseimbangan kekuasan dan otoritas ini diharapkan menciptakan masyarakat lebih adil dan setara bagi semua. Membentuk intitusi berkedilan gender adalah salah satu upaya untuk memutus keterpasungan perempuan ini.
Memastikan kebijakan, praktik dan budaya kerja mendukung berkeadilan untuk perempuan. Misalnya memastikan komitmen dari pimpinan tertinggi sebuah institusi tempat perempuan bekerja. Pimpinan harus menjadi contoh dan pendorong utama perubahan budaya yang mendukung kesetaraan.
Pada sisi lain, keberanian perempuan untuk speak up tentang ketidakadilan yang dialaminya adalah langkah penting dalam memutus relasi kuasa ini yang timpang. Angkat bicara yang dilakukan perempuan dapat menginspirasi perempuan lainnya untuk melakukan yang sama.
Pada akhirnya akan tercipta solidaritas kolektif dan mampu meretas relasi kuasa yang timpang sebagai penyebab keterpasungan perempuan. (*)
*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)