Frensia.id – Kisah seorang penjual es teh yang dipermalukan di depan jemaahnya merupakan sebuah pelajaran hidup yang sederhana, namun sarat dengan ironi. Seorang lelaki tua yang mencari nafkah dengan berjualan es tiba-tiba disebut idiot oleh seorang pendakwah terkenal tanah air. Tapi hidup ini serba kejutan. Melalui hinaan tersebut, ia justru mendapat umroh gratis, dana usaha, dan simpati masyarakat. Kebahagiaan yang datang dari arah tak terduga, “min hasiib laa yahtasib” itu nyata adanya.
Namun, mari sejenak sudahi sorotan berkah yang diterima bapak penjual es dan beralih pada hal yang lebih mendasar, tentang etika dalam berdakwah. Ada yang perlu diluruskan disini- rezeki yang melimpah dari arah tak terduga itu, bukan berarti membenarkan sesuatu yang salah. Menghina, merendahkan, atau bahkan sekadar bercanda dengan kata kasar dalam ceramah, apalagi di tengah kerumunan jamaah, tidak bisa dibenarkan. Dakwah idealnya menyejukkan, bukan membakar hati yang mendengarkan.
Lebih ironisnya, penjual es yang dihina justru bersikap sabar, meskipun seperti dalam pengakuannya ia sakit hati. Alih-alih marah atau terluka, bapak penjual es dengan ramah menerima hinaan itu dan bahkan mengatakan bahwa dirinya mungkin tidak beruntung malam itu. Apakah hanya karena guyonan yang berlebihan, rezeki tak diduga-duga datang menghampiri penjual es, lantas tidak mempermasalahkan candaan si penceramah? Atau justru membelanya ? Jelas,Tidak.
Penjual es punya hak untuk sabar, namun menjaga lidah adalah kewajiban setiap pendakwah. Menurut berbagai informasi, penceramah dengan jantan mengakui candaan yang kebablasan itu. Kita Pun harus jantan mengatakan hal demikian salah, bukan justru didukung bahwa hal demikian adalah gaya ceramahnya. Urakan, apa adanya untuk merangkul jamaah. Itu namanya tafsir semaunya sendiri, tanpa mau melihat dan merenung bagaimana perihnya hati penjual es malam itu.
Titik pentingnya, kesalahan tetap harus diakui sebagai kesalahan. Rezeki tak terduga dari peristiwa ini tidak bisa membenarkan ceramah yang menebar hinaan. Masyarakat bisa saja bahagia, terperangah melihat si penjual es mendapat berbagai macam hadiah. Namun, publik tidak akan pernah lupa kejadian ini, meski akhirnya mendapatkan kelapangan hati oleh penjual es, memaafkan candaan tersebut.
Belajar dari kisah ini, rezeki memang urusan Tuhan, dan Tuhan Pun memberikan terkadang dengan cara tak terduga, tapi penting diingat, adab adalah urusan manusia. Setiap kata yang keluar, khususnya dari seorang public figur seperti penceramah, harusnya menjadi penyejuk dan penyemangat. Dakwah tanpa adab ibarat es teh keasinan, bukannya menyegarkan, sebaliknya mengundang orang tak ingin meneguknya.