FRENSIA.ID– Ada pertanyaan, bolehkah ummat Muslim ikut merayakan natal. Ternyata hal demikian ini jadi konflik besar tokoh-tokoh agama di Indonesia. Sebagaimana yang disebut dalam riset seorang akademisi dari UIN Sunan Kalijaga, Nurhadi.
Riset ini telah terbit pada jurnal Al-Jami’ah. Nurhadi menjelaskan sebagaimana isi risetnya yang diupload bahwa isu perayaan Natal bersama mencuat ke permukaan pada dekade 1980-an dan menjadi masalah kontroversial yang memicu perdebatan sengit di kalangan umat Islam dan pemerintah.
Pada masa itu, belum ada ketetapan hukum Islam yang secara spesifik mengatur peran serta umat Islam dalam perayaan Natal bersama, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa perlu mengeluarkan fatwa untuk menjaga kemurnian akidah umat.
Pada tanggal 7 Maret 1981, Komisi Fatwa MUI akhirnya mengeluarkan fatwa yang intinya mengharamkan umat Islam mengikuti upacara Natal bersama karena dianggap mencampuradukkan akidah dan ritual agama. Fatwa ini menegaskan bahwa meskipun tujuannya menghormati Nabi Isa AS, perayaan tersebut tidak bisa dipisahkan dari unsur ritual Kristiani yang meyakini ketuhanan Yesus, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip tauhid Islam.
Ketegangan mulai memuncak ketika fatwa yang seharusnya menjadi pegangan internal Kementerian Agama ini bocor ke publik dan dimuat oleh harian Pelita pada 5 Mei 1981. Publikasi ini memicu reaksi keras dari pemerintah Orde Baru yang saat itu sedang gencar mengkampanyekan Trilogi Kerukunan Beragama.
Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara, merasa terpojok dan marah karena menganggap fatwa tersebut dapat mengganggu stabilitas nasional dan persatuan bangsa. Pemerintah berpandangan bahwa menghadiri perayaan agama lain adalah hal lumrah sebagai bentuk penghormatan, selama tidak mengikuti ritual ibadahnya.
Konflik antara pandangan ulama yang ingin menjaga akidah dan pemerintah yang mengutamakan stabilitas nasional ini berujung pada peristiwa dramatis. Buya Hamka, selaku Ketua Umum MUI, memilih bersikap tegas.
Meskipun MUI akhirnya mengeluarkan maklumat untuk menarik peredaran fatwa tersebut demi meredam gejolak masyarakat, Hamka menegaskan bahwa keabsahan fatwa tersebut tidaklah gugur. Sebagai bentuk tanggung jawab moral atas beredarnya fatwa tersebut dan ketidaksepahamannya dengan tekanan pemerintah, Buya Hamka akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya pada 19 Mei 1981.
Peristiwa ini menjadi sejarah penting yang menunjukkan dinamika hubungan antara Islam dan negara di Indonesia. Respon masyarakat pun terbelah; ada yang mendukung penuh langkah MUI seperti M. Amin Ely yang khawatir akan pendangkalan akidah siswa di sekolah, namun ada pula yang kontra seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Gus Dur saat itu berpendapat bahwa fatwa tersebut bisa menghambat sikap inklusif dan menyarankan agar energi umat lebih difokuskan pada masalah kemiskinan dan ketidakadilan daripada sekadar isu perayaan seremonial. Sejarah ini mengajarkan bahwa perdebatan mengenai batas toleransi dan akidah bukanlah hal baru, melainkan diskursus panjang yang terus mewarnai kehidupan beragama di Indonesia.







