Frensia.id- Aturan Penyediaan Alat Kontrasepsi Untuk Pelajar hari-hari ini menyita perhatian publik. Pasalnya aturan ini dikhawatirkan menjadi pintu masuk remaja pelajar sekolah melakukan hubungan seksual. Banyak kalangan menanyakan manfaatnya ketentuan ini. Lalu bagaimana pendekatan nalar Maslahahnya?
Pemerintah resmi mengeluarkan peraturan Turunan dari Undang-Undang Kesehatan yakni No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan tersebut berupa Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024, terdiri dari 1172 pasal.
Dalam penjelasan dituangkan lahirnya PP tesebut sebagai respon atas kebutuhan hukum untuk mengatur penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan secara komprehensif. Tidak lepas pula memberikan kepastian hukum, mengimplementasikan transformasi Kesehatan, dan melakukan simplifikasi regulasi.
Namun, kehadiran PP pelaksanaan UU Kesehatan ini menuai kontroversi, banyak kalangan menolak atau setidaknya meminta ditinjau ulang. Persoalan yang menjadi sorotan publik dari aturan tersebut adalah Penyediaan Alat Kontrasepsi Untuk Pelajar .
Dalam PP tersebut disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup meliputi kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah, usia sekolah dan remaja, dewasa, calon pengantin dan lanjut usia.
Publik menyoroti kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, sebagaimana diatur pada pasal 103 ayat 1. Upaya kesehatan tersebut dilakukan dengan memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi, serta Pelayanan Kesehatan reproduksi.
Pasal 103 pasal 4 merinci bentuk pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut salah satunya huruf “e” penyediaan alat kontrasepsi.
Anggota DPR RI Komisi IX Netty Prasetiyani menyebut PP yang ditandatangani Jokowi itu, dapat menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.
Namun anggapan itu diperjelas oleh kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi seperti dilansir BBC News Indonesia, ia menjelaskan pasal 103 ayat 3 butir “e” yang menyebut penyediaan alat kontrasepsi ditujukan bagi remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan sampai umur yang aman untuk hamil.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Penyediaan Alat Kontrasepsi bagi Anak Sekolah bisa dianggap memiliki dampak positif dalam konteks tertentu, terutama dalam menunda kehamilan remaja dan mendukung fokus pada pendidikan.
Hal ini dianggap tepat karena undang-undang perkawinan di Indonesia masih memberikan “kesempatan” nikah di bawah umur, yang umumnya masih remaja pelajar di sekolah.
UU Nomor 16 Tahun 2019 menaikkan batas usia minimum untuk pernikahan. Sebelumnya, batas usia minimum untuk perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun.
Dengan undang-undang baru ini, batas usia minimum untuk pernikahan adalah 19 tahun, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pasangan yang menikah sudah mencapai usia dewasa dan kematangan emosional serta fisik.
Kendati UU perkawinan menetapkan batas usia minimum, masih ada “kesempatan” dispensasi untuk pernikahan anak. Dispensasi ini hanya dapat diberikan oleh pengadilan dengan alasan yang sangat mendesak dan setelah mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Dispensasi ini dimaksudkan untuk kasus-kasus khusus yang memerlukan perhatian lebih lanjut dan bukan untuk tujuan umum.
Ironisnya, Anak yang menempuh dispensasi nikah biasanya harus berhenti sekolah untuk mengurus rumah tangga dan anak. Hal semacam ini tentu menghambat kesempatan mereka mendapatkan pendidikan dan mengembangkan keterampilan yang penting untuk masa depan mereka.
Undang-undang perkawinan hanya mengatur bagaimana mendapatkan izin menikah, namun belum ada aturan mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan yang masih duduk di bangku sekolah. Padahal di lapangan banyak ditemui dispensasi ditempuh bukan karena anak sedang hamil.
Misalnya disebabkan sering bermalam secara bergantian atau sering keluar rumah, kesemuanya itu menjadi keprihatinan bagi orang tua dan kekhawatiran terjadi perilaku yang bertentangan dengan ketentuan agama. Maka, pada konteks inilah aturan penyediaan alat kontrasepsi menemukan relevansinya.
Dengan alat kontrasepsi, risiko kehamilan yang tidak diinginkan dapat dikurangi, memungkinkan pelajar fokus pada pendidikan mereka dan menyelesaikan sekolah. Cukup disayangkan misalkan duduk di kelas 2 atau 3 SMA harus putus sekolah karena hamil. Sedangkan pernikahannya sah secara agama dan negara.
Dengan fokus pada pendidikan dan kesejahteraan remaja, kebijakan penyediaan alat kontrasepsi dapat membantu memastikan bahwa remaja dapat menyelesaikan pendidikan mereka. Dengan demikian mereka memperoleh manfaat ganda yakni keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pendidikan.
Terpenuhinya kehidupan pribadi yakni ikatan pernikahan yang sah secara agama dan negara, pada saat yang sama pendidikannya dimungkinkan dapat diselesaikan. Hal ini memungkinkan mereka mengakomodir dua tujuan penting, menjaga nilai-nilai agama, moralitas dan mencapai pendidikan yang lebih tinggi.
Dengan pendekatan nalar maslahat ini, aturan penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar bisa dilihat sebagai upaya untuk mencapai keseimbangan antara menjaga kesehatan reproduksi, mematuhi ajaran agama dan memastikan keberhasilan pendidikan.
Penting dicatat, PP mengani penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar tidak tepat dijadikan kesempatan untuk menikah dibawah umur. Selanjutnya, perlu ada aturan turunan untuk memperjelas aturan ini.
Kebijakan ini sebagai alternatif bagi mereka yang berada dalam keadaan “terpaksa”. Memang sebaiknya, pernikahan dibawah umur sedapat mungkin harus dihindari. Semoga.!(*)
*Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember, Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)