Perempuan Dan Eksploitasi Tambang Dalam Raung Ekofenimisme

Minggu, 16 Juni 2024 - 05:29 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Frensia.id – Kegamangan kerusakan alam menjadi perhatian banyak orang khususnya aktivis lingkungan, masyarakat adat, kalangan perempuan dan ormas keagamaan.

Aksi perusakan alam — terlebih yang dilakukan dengan terus-menerus — seperti eksploitasi tambang akan menjerambabkan pada kerugian besar bagi generasi dan keberlangsungan lingkungan yang hijau.

Andai manusia bersabar dan bersahabat dengan alam, segala kebutuhan manusia akan terpenuhi. Hanya saja sikap rakus dan tamak yang membuat manusia merasa tidak terpenuhi.

Menarik apa yang disampaikan Mahama Gandhi “alam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia secara cukup, tetapi tidak cukup untuk memenuhi beberapa orang yang rakus”.

Pandangan Gandi tersebut sangat berpengaruh dan menjadi fondasi pemikiran ekofemenisme seperti Vandana Shiva, seorang tokoh ekofemenis.

Pengaruhnya juga nampak pada saat Shiva memimpin gerakan Chipko yang berjuang menyelamatkan hutan pada tahun 1970, di India. Memberi inspirasi terhadap arah perjuangan penyelamatan lingkungan hidup di sektor kehutanan.

Sebagai gerakan dan teori yang menggabungkan prinsip-prinsip ekologi dan feminisme, ekofeminisme mencounter sistem kapitalisme. Sebab kapitalisme telah merubah mentalitas perempuan dan alam yang sejak awal menjadi produsen dirubah mejadi konsumen.

Sifat alam dan perempuan yang aktif, kreatif dan produktif dalam menjaga eksistensi kehidupan diubah menjadi pasif dan dibuat bergantung pada pemilik modal maupun perusahaan koorporasi.

Hari ini, kegamangan kerusakan alam, lingkungan dan sosial pasca terbitnya balied PP 25 Tahun 2024 terkait izin ormas keagamaan mengelola tambang kian memuncak.

Meskipun kerusakan alam sudah sering terjadi di Indonesia akibat ulah tambang, namun dengan terlibatnya izin ormas kegamaan dalam mengelola tambang adalah kenyataan buruk, pasalnya ormas kegamaan dikenal sebagai antitesa dari kebijakan yang merusak lingkungan.

Baca Juga :  Menyoal Polemik Pencatatan Perkawinan

Kebijakan pemerintah tersebut banyak ditolak dari berbagai kalangan termasuk ormas keagamaan itu sendiri, meskipun ada beberapa yang menerima.

Bagi kalangan yang menolak mempertimbangkan kerusakan ekosistem, pencemaran air dan tanah, serta penghancuran alam sebagai konsekuensi logis yang tidak dihiraukan oleh perusahaan tambang.

Eksploitasi tambang dari perspektif ecofeminisme akan berdampak pada kerusakan lingkungan bahkan hal tersebut akan memasung keadilan bagi perempuan.

Aktivitas tambang sering kali berdampak langsung pada kehidupan perempuan, terutama di komunitas pedesaan yang bergantung pada alam untuk sumber penghidupan mereka.

Pencemaran air, tanah, dan udara akibat penambangan dapat menghancurkan sumber daya yang digunakan oleh perempuan untuk mendukung keluarga dan komunitas mereka.

Seperti sungai di Wawoni ketika tercemar ore nikel, sumber air bersih terganggu dan perempuan paling pertama terdampak. Mereka harus mencuci menggunakan air keruh berlumpur akibat air bersih tercemar.

Irianti S. & Prasetyoputra (2019) dalam The Struggle For Water Indonesia : The Role of Women and Chilren as Houshold water fetcher, mengungkapkan 42,3% rumah tangga menggantungkan peran perempuan dewasa dalam mengambil air dari sumber air ditengah minimnya penyediaan air deri pemerintah.

Sedangkan 1,57 % rumah tangga mengandalkan anak perempuan dalam mengambil air. Kerusakan sumber air karena tambang otomatis berdampak bagi perempuan.

Eksploitasi tambang memperburuk ketidakadilan sosial dan ekonomi. Perempuan sering kali tidak mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas tambang, sementara mereka harus menanggung beban dampak negatifnya.

Baca Juga :  Menjaga Alam, Merawat Kehidupan

Oleh karena itu, banyak gerakan perlawanan terhadap eksploitasi tambang dipimpin oleh perempuan untuk menyadari dampak langsung dari kegiatan ini pada komunitas mereka.

Perlawanan tersebut bersenada dengan semangat Ekofeminisme. Mendorong perempuan untuk mengambil peran aktif dalam upaya pelestarian lingkungan dan advokasi keadilan sosial.

Misalnya gerakan Chipko yang dikomandani Shiva, sebuah gerakan perlawanan perempuan India terhadap ancaman perusakan hutan dan perampasan hak-hak perempuan dengan melakukan aksi memeluk pohon untuk melindungi dari laju bouldoser yang akan menumbangkannya.

Konteks Indonesia, potret penolakan para perempuan Pocoleok protes rencana pembangunan pembangkit panas bumi yang akan berdampak pada lingkungan adat mereka.

Hal serupa, aksi para Kartini Kendeng, termasuk Giyem menyemen kaki di depan Istana Negera, menuntut penutupan tembang dan pabrik semen di Pegunungan Kendeng.

Realitas demikian mengafirmasi pertambangan apapun jenisnya, dikhawatirkan bahkan diyakini akan berdampak serius bagi penghidupan rakyat dan lingkungan. Termasuk yang menjadi kegamangan banyak pihak hari ini tambang yang dikelola ormas kegamaan.

Perlu kesadaran bersama pemerintah, ormas keagamaan dan rakyat untuk membangun keadilan sosial berwawasan ekologis ini. Ekofeminisme mempromosikan etika peduli (Ethic of Care) sebagai alternatif terhadap etika dominasi yang mendasari eksploitasi tambang.

Membangun hubungan yang lebih peduli dan berkelanjutan antara manusia dan alam, serta antara manusia satu sama lain, dengan memperhatikan dampak jangka panjang. (*)

*Moh. Wasik (Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al Falasifah)

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi
Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 
Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi
Evaluasi Flyer Pemerintah di Website Media: Menimbang Maslahat dan Mafsadat dalam Komunikasi Publik
Menjaga Alam, Merawat Kehidupan
Koalisi Permanen, Jalan Terjal Demokrasi

Baca Lainnya

Rabu, 2 April 2025 - 13:20 WIB

Lebaran: Subjek Bebas yang Memaafkan

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Jumat, 21 Maret 2025 - 23:34 WIB

Karpet Merah untuk TNI, Kuburan bagi Reformasi

Kamis, 20 Maret 2025 - 22:06 WIB

Post Globalization Militarism: Kajian Interdisipliner tentang Hegemoni Ekonomi, Polarisasi Sosial, dan Tatanan Militerisme Dunia 

Rabu, 19 Maret 2025 - 05:57 WIB

Negara atau Rentenir? STNK Mati, Motor Ikut Pergi

TERBARU

Gambar

Politia

DPR Desak PTPN XII Segera Perbaiki Jalan Rusak di Jember

Jumat, 11 Apr 2025 - 18:46 WIB

Kolomiah

Di Liga Champions UEFA, Menang Justru Lebih Melelahkan

Kamis, 10 Apr 2025 - 18:09 WIB

Kolomiah

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid

Rabu, 9 Apr 2025 - 14:01 WIB

Gambar Real Madrid: Sang Juara 15 UCL, Dipermalukan Arsenal! (Sumber: Grafis Frensia)

Sportia

Real Madrid: Sang Juara 15 UCL, Dipermalukan Arsenal!

Rabu, 9 Apr 2025 - 08:56 WIB