Perempuan Kurus Katanya Cantik, Ternyata Tak Realistis

Perempuan Kurus Katanya Cantik, Ternyata Tak Realistis
Perempuan Kurus Katanya Cantik, Ternyata Tak Realistis (Sumber: Canva)

Frensia.id-Perempuan kurus katanya cantik, ternyata dianggap tidak realistis. Semuanya dianggap sebagai dampak dari budaya yang patriarki.

Hal demikian ini sebagaimana yang hasil penelitian Sarah K. Murnen,Linda Smolak ,J. Andrew Mills dan Lindsey Bagus. Hasilnya telah dipublikasi dalam jurnal Sex Roles tahun 2003.

Menurut mereka, Media modern sering kali memproyeksikan citra yang mempromosikan standar kecantikan yang tidak realistis, baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Bacaan Lainnya

Perempuan ditampilkan sebagai sosok yang langsing atau kurus itu seksi. Berbeda dengan laki-laki yang diharapkan memiliki tubuh yang berotot.

Hasilnya, perempuan memaksa untuk kurus agar cantik dengan mengurangi makanan. Sedangakan lelaki, makan yang bergizi agar tampak berotot.

Pngaruh citra-citra ini buruk terhadap anak-anak kita, terutama pada usia yang sangat muda. Sebuah penelitian terbaru memberikan wawasan yang mencengangkan tentang bagaimana anak perempuan dan laki-laki memproses citra tubuh yang diobjektifikasi ini, dan ternyata anak perempuan jauh lebih rentan terhadap dampak negatif dari gambaran media tersebut dibandingkan anak laki-laki.

Kita tahu bahwa perempuan sering kali menjadi target utama objektifikasi di media. Data menunjukkan bahwa paparan citra perempuan yang idealis dan tidak realistis berhubungan dengan ketidakpuasan tubuh, masalah makan, dan kecenderungan untuk mengobjektifikasi diri sendiri di kalangan perempuan.

Masalah ini tak hanya mengakar pada orang dewasa; bahkan anak perempuan usia sekolah dasar mulai menunjukkan reaksi yang konsisten terhadap tekanan budaya yang mempromosikan citra tubuh langsing dan seksi.

Dalam studi ini, anak perempuan dan laki-laki berusia 6 hingga 12 tahun diperlihatkan gambar-gambar yang menampilkan sosok perempuan dan laki-laki yang diobjektifikasi secara seksual. Mereka diminta untuk memberikan tanggapan atas gambar-gambar tersebut.

Meskipun baik anak perempuan maupun anak laki-laki memberikan respons positif terhadap gambar-gambar ideal orang dari jenis kelamin mereka masing-masing, ada sesuatu yang sangat mencolok dalam hasil penelitian ini: anak perempuan menunjukkan respons yang lebih konsisten dan mendalam terhadap citra perempuan yang diobjektifikasi dengan badan kurus.

Mengapa anak perempuan lebih konsisten dalam respons mereka? Penelitian ini menemukan bahwa anak perempuan yang secara aktif menolak citra perempuan yang diobjektifikasi cenderung memiliki harga diri yang lebih tinggi.

Sebaliknya, anak perempuan yang merasa tidak yakin atau bingung dengan bagaimana mereka harus menanggapi gambar ideal tubuh mereka tersebut, cenderung mengalami tekanan yang lebih besar terkait tubuh mereka sendiri.

Hal ini mengindikasikan bahwa sejak usia dini, anak perempuan lebih cepat menginternalisasi tekanan budaya mengenai bagaimana mereka seharusnya tampil. Gambaran ideal yang sering mereka lihat di media perlahan-lahan mulai memengaruhi cara mereka memandang tubuh mereka sendiri.

Sebaliknya, meskipun objektifikasi terhadap laki-laki di media juga meningkat, respons anak laki-laki terhadap gambar-gambar tubuh ideal laki-laki yang berotot tidak sekuat atau konsisten seperti pada anak perempuan.

Salah satu alasannya mungkin adalah karena dorongan untuk “menjadi berotot” di kalangan anak laki-laki belum mencapai tingkat yang sama intensnya dengan dorongan bagi anak perempuan untuk menjadi langsing dan seksi. Artinya, sementara standar ideal tubuj bagi laki-laki mulai berubah, dampak psikologisnya belum seberat apa yang dialami oleh anak perempuan.

Penelitian mereka membuka mata kita terhadap kenyataan yang menyedihkan: anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan budaya yang lebih kuat untuk menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang tidak realistis sejak usia sangat muda. Gambaran perempuan di media—yang sering kali menampilkan tubuh yang diobjektifikasi—berdampak langsung pada persepsi diri dan harga diri anak perempuan.

Mereka yang mampu menolak tekanan ini lebih mungkin memiliki pandangan diri yang lebih positif. Namun, bagi banyak anak perempuan, kebingungan dan tekanan internal terhadap bagaimana mereka seharusnya terlihat dapat memengaruhi kesejahteraan mental dan emosional mereka di masa depan.

Jadi, meskipun objektifikasi gender di media memengaruhi kedua jenis kelamin, anak perempuan tampaknya menjadi sasaran yang lebih mudah bagi pengaruh negatif ini. Mereka menyerap pesan-pesan budaya lebih awal dan lebih kuat, yang dapat membentuk persepsi diri mereka selama bertahun-tahun.