Frensia.id – Tak hanya fisik dan psikis, terpenjara dalam kungkungan stigma dan ketidakadilan adalah beban yang harus ditanggung korban kekerasan seksual. Ironisnya, meski pemerintah telah menerbitkan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), perlindungan hukum masih terbilang ibarat fatamorgana di padang pasir”, terlihat indah namun sirna saat didekati. Hak kesejahteraan yang seharusnya dapat membangkitkan harapan serta martabat korban, tak lebih sebatas catatan pinggir dalam aturan tersebut.
Hak kesejahteraan itu meliputi jaminan hidup layak selama proses hukum, masa pemulihan , hingga akses pekerjaan, belum divalidasi secara lugas dalam UU TPKS. Sejumlah penelitian, seperti study berjudul perlindungan hukum hak kesejahteraan perempuan korban tindak pidana kekerasan Seksual oleh Rina Antasari beserta koleganya, menyampaikan hal demikian. Sebaliknya UU ini hanya menyoroti hak restitusi, yakni ganti rugi materil dan immateril yang sifatnya terbatas pada dampak langsung.
Penelitian tersebut turut mengungkap data dari kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) tahun 2022, yang merilis lebih dari 25 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, dan nyaris 12 ribu diantaranya merupakan kekerasan seksual. Temuan ini memperkuat pentingnya langkah konkret pemerintah dalam memberikan keadilan bagi korban, utamanya menanggulangi kendala sosial yang sering membunyikan suara mereka.
Satu aspek yang penting digarisbawahi dalam UU TPKS adalah penggunaan paradigma delik aduan. Sistem ini mengharuskan adanya laporan dari korban sebagai prasyarat penegakan hukum, disinilah celah dan kekurangannya, banyak korban memilih tidak melapor karena trauma atau stigma. Seharusnya UU TPKS menerapkan paradigma dual delik, yang memberikan akses penegakan hukum baik melalui pengaduan korban maupun inisiatif para penegak hukum. Pendekatan ini tak hanya dapat melindungi korban yang takut atau sengaja dibungkam untuk melapor, lebih jauh memproteksi pelaku mengulangi kejahatannya.
Kelemahan lainnya adalah sanksi yang diberikan oleh UU TPKS masih relatif rendah ,baik pidana, maupun perdata. Padahal, tindak pidana kekerasan seksual ini merupakan tindak pidana yang dapat menghilangkan harkat dan martabat manusia, terutama perempuan, yang menjadi korban.
Oleh karena itu. Perlindungan harus bersifat holistik, mengakomodir dua langkah bersamaan, preventif dan represif. Guru besar hukum Universitas Trisakti, Phillipus M. Hadjon, mengurai dalam bukunya Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, perlindungan preventif bertujuan menanggulangi pelanggaran melalui tindakan hati-hati dan aturan yang jelas. Sementara, perlindungan represif menyelesaikan pelanggaran dengan menjatuhkan sanksi, seperti denda atau penjara.
Langkah perlindungan preventif, melalui kampanye edukasi gender dan perlindungan berbasis komunitas dan aturan yang jelas melindungi hak-hak korban. Sedangkan represif, dilakukan dengan memberikan sanksi tegas yang mencerminkan beratnya dampak kekerasan seksual.
Hak kesejahteraan korban harus menjadi pijakan utama, seperti amanah konstitusi pasal 27 UUD 45 mengenai hak warga negara untuk mendapatkan penghidupan layak. Pemerintah perlu memperluas batasan dan ruang lingkup UU TPKS, agar cakupan jaminan rehabilitasi ekonomi, layanan pemulihan dan dukungan sosial yang berkelanjutan dapat diakomodir.
Tanpa langkah progresif semacam ini, korban kekerasan seksual akan semakin tersisih dari ruang-ruang sosial yang sudah selayaknya menjadi hak dasar mereka. Adanya UU TPKS ini merupakan awal yang baik, namun merevisi secara mendalam tetap dibutuhkan, ia bukan teks kitab suci yang anti perbaikan. Semata-mata, demik terwujudnya keadilan dan kesejahteraan korban sebagai yang riil, tidak sekedar cita-cita hukum belaka.