Frensia.id – Menjomblo bukanlah masalah, tidak ada larangan untuk itu. Sebagian orang memilih jomblo, belum menikah, bukannya tidak berani jatuh cinta, tapi takut jatuh pada yang salah. Lebih dari itu, ada yang menganggap lebih baik melangkah sendiri dari pada berdua dengan pasangan. Pasalnya, hati dan pikiran susah satu tujuan.
Pertimbangan semacam itu tidak bisa disalahkan dan juga tak dapat dibenarkan. Tidak bisa disalahkan, karena bagi sebagian orang menikah tidak hanya bertemunya badan tapi juga bertemunya hati, gagasan dan tujuan untuk rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Tidak bisa dibenarkan, karena mencari pasangan yang sempurna adalah sesuatu yang utopia. Gus Mus pernah berseloroh terkait ini. Ia mengatakan barangsiapa mencari jodoh yang sempurna, maka bersiaplah untuk menjomblo seumur hidup. Quotes ini dapat dijumpai di laman NU Online.
Sebab bahagia dan kekal bersama pasangan itu diciptakan bukan ditemukan. Jika memang tidak menemukan bahagia, maka kebijaksanaan akan menghampirinya, begitulah pesan Socrates.
Dalam aforismenya, ia menuturkan “Menikahlah. Jika mendapatkan istri baik maka akan bahagia, jika mendapatkan istri buruk maka akan menjadi seorang filsuf”.
Sepintas ungkapan ini paradoks, apa hubungannya institusi pernikahan dengan filsafat, apalagi menjadi seorang filsuf yang sangat tidak mudah dan semua orang belum tentu bisa.
Aforisme tersebut mengandung makna bahwa dalam kehidupan pernikahan, mendapatkan pasangan yang baik akan membawa kebahagiaan. Namun, jika sebaliknya, menghadapi tantangan dan kesulitan dalam pernikahan akan memaksa seseorang untuk berpikir lebih dalam.
Dalam konteks ini, Socrates sepertinya ingin menyampaikan bahwa semua pengalaman-termasuk pernikahan-, baik atau buruk, memiliki nilai dan dapat mengajarkan sesuatu yang berharga. Kebahagiaan dan penderitaan sama-sama berkontribusi pada pertumbuhan pribadi dan pemahaman hidup.
Bias Gender?
Perkataan filsuf terkemuka ini nampaknya dapat dianggap bias gender karena hanya menyoroti peran istri dalam menentukan kebahagiaan atau kebijaksanaan suami. Istri baik dan Istri buruk adalah basic structure, apakah suami bahagia atau ia menjadi seorang filsuf. Tentu statement semacam ini bisa dirasa tidak adil, karena mengabaikan kontribusi kedua pasangan dalam sebuah pernikahan.
Untuk menghindari bias gender, aforisme ini dimaknai dalam pernikahan kedua pasangan memiliki peran penting dalam menciptakan kebahagiaan atau menghadapi tantangan. Baik suami maupun istri berperan dalam membentuk kualitas relasi dalam sebuah perkawinan.
Sehingga pesannya dapat diperluas, Menikahlah. Jika mendapatkan pasangan baik maka akan bahagia, jika mendapatkan pasangan buruk maka akan menjadi seorang filsuf. Pasangan yang saling mendukung dan memahami, akan menciptakan hidup bahagia.
Namun,dihadapkan dengan pasangan yang tidak mamahami dalam hubungan akan dituntut berpikir dan tumbuh menjadi lebih bijaksana.
Bahagia dan Jalan Menuju Filsuf
Menikahi pasangan yang baik membawa kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup. Ini mencerminkan pentingnya hubungan yang harmonis dan saling mendukung dalam mencapai kebahagiaan.
Di Indonesia misalnya, tujuan perkawinan yang bahagia dan kekal tertuang dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pada pasal 1. Dua item yang harus terintegrasi satu dengan yang lain. Hidup kekal namun tidak bahagia tentu dilematis, sebaliknya bahagia namun tidak lama juga tidak diinginkan.
Namun, disadari menikah tidak selamanya bahagia, pemicunya salah satunya adalah pasangan. Bagi socrates pasangan yang baik akan mengantarkannya kepada kebahagiaan sementara pasangan yang tidak baik membawa menjadi seorang filsuf. Sebab kesulitan dalam pernikahan akan memaksa seseorang untuk berpikir lebih dalam.
Berpikir menjadi icon dari filsafat, Bambang Sugiharto dalam kata pengantar buku Dunia Sophie (Sophie’s World), Sebuah Novel Filsafat Karya Jostein Gaarder mengatakan filsafat adalah kegiatan olah nalar.
Persoalan yang dihadapi dalam rumah tangga seperti pasangan yang tidak baik sebagaimana diungkap oleh socrates, akan memaksa seseorang berpikir dan menggunakan nalarnya. Mereka akan merefleksikan kehidupan, dan mencari makna serta kebijaksanaan dari pengalamannya. Persia layaknya apa yang dilakukan oleh seorang filosof.
Benturan-benturan masalah karena pasangan yang tidak baik membuat seseorang mau tidak mau harus berpikir secara radikal, runtut, logis, rasional, komprehensif layaknya cara berpikir filsafat. Sehingga masalah yang dihadapi tidak sepotong-potong. Biar tak menghasilkan kesimpulan yang keliru.
Alhasil, Socrates menyiratkan bahwa tidak ada perjalan hidup, dalam konteks ini, yang benar-benar sia-sia. semuanya berkontribusi pada pemahaman dan kebijaksanaan hidup. Dengan kata lain, baik kebahagiaan maupun masalah dalam pernikahan dapat membentuk karakter seseorang dan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang kehidupan. (*)
*Moh. Wasik (Anggota LKBHI UIN KHAS Jember, Penggiat Filsafat Hukum dan Anggota Dar Al-Falasifah)