Frensia.id – Pesantren Lirboyo, yang berdiri sejak 1910 di Kediri, Jawa Timur, merupakan salah satu pesantren tertua dan terbesar di Indonesia. Perannya sangat besar dalam menguatkan pemahaman agama Masyarakat.
Didirikan oleh K.H. Abdul Karim, pesantren ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan agama, tetapi juga sebagai benteng nilai-nilai tradisional Islam di tengah masyarakat.
Hingga kini, pesantren tersebut tetap menjadi rujukan penting dalam kajian keislaman, di bawah pimpinan K.H. M. Anwar Manshur, cucu pendirinya.
Baru-baru ini, penelitian berjudul “Pluralistic Ethics and Fiqh of Nationality: Lirboyo Islamic Boarding School’s Efforts to Build a National Episteme Based on Jurisprudence” mengungkapkan perspektif menarik tentang pesantren ini.
Penelitian ini dilakukan oleh dua akademisi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Haqqul Yaqin dan Suhermanto Ja’far, yang diterbitkan pada 2024 di AL-TAHRIR: Jurnal Pemikiran Islam.
Studi ini membahas kontribusi Pesantren Lirboyo dalam memperkenalkan konsep fikih kebangsaan di tengah tantangan ideologi puritanisme seperti salafisme.
Melalui fikih kebangsaan, Pesantren Lirboyo berupaya menjawab persoalan fragmentasi sosial yang sering kali berakar pada pemahaman keagamaan yang sempit.
Fikih kebangsaan di pesantren ini dirumuskan sebagai upaya menyeimbangkan antara kepatuhan terhadap syariat Islam dan realitas kehidupan berbangsa.
Menurut penelitian tersebut, fikih kebangsaan di Lirboyo lahir dari dialektika panjang dengan konteks lokal dan global. Para alumni dan komunitas santri tidak hanya mempelajari teks agama secara normatif, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai sosial dan humanis dalam interpretasi mereka.
Langkah ini menjadi respons progresif terhadap kecenderungan kelompok-kelompok tertentu yang sering kali memaksakan tafsir agama secara eksklusif.
Penelitian ini juga menyoroti bagaimana pesantren ini secara strategis mempromosikan konsep fikih kebangsaan di ruang publik. Wawancara dengan beberapa pengasuh dan mahasiswa senior mengungkapkan bahwa wacana ini tidak hanya berkembang di dalam pesantren, tetapi juga di berbagai forum nasional.
Pesantren Lirboyo secara aktif merepresentasikan pemahaman Islam yang mendukung persatuan bangsa melalui pendekatan inklusif.
Namun, salah satu poin menarik dalam penelitian ini adalah bagaimana pesantren ini tetap menghadapi tantangan berupa paham keagamaan monolitik. Meskipun fikih kebangsaan di Lirboyo dirancang untuk melawan kecenderungan puritanisme, riset ini mencatat adanya tantangan internal dan eksternal yang dapat mempersempit ruang dialektika.
Paham monolitik—yang memandang agama hanya dalam kerangka ketaatan normatif—tetap muncul di beberapa lapisan masyarakat, termasuk dalam wacana agama di pesantren tradisional.
Temuan ini memberikan gambaran bahwa Pesantren Lirboyo, meskipun berakar pada tradisi, terus berupaya relevan di tengah dinamika sosial-politik modern.
Dengan mengedepankan nilai-nilai pluralistik dan humanis dalam fikih kebangsaan, pesantren ini mencoba menjembatani perbedaan ideologi dan mempromosikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Upaya ini menjadi refleksi penting tentang peran pesantren sebagai penjaga sekaligus inovator dalam tradisi Islam di Indonesia.