PP Muhammadiyah Tetapkan Awal Ramadhan 11 Maret, Kiai Muda Jember: Tidak Boleh Diikuti

Awal Ramadhan
Ilustrasi Wujudul Hilal Penetapan Awal Ramadhan (Sumber: pexels/Luis Rodrigues)

Frensia.id – Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk Umat Islam di Indonesia diharapkan menunggu Keputusan resmi dari pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag).

Sekalipun begitu setiap organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam juga menghimbau anggotanya untuk mengikuti keputusan pimpinan tertinggi dari lembaga terkait.

Dua Ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah seringkali juga jadi penentu kapan awal dari ketiga bulan yang telah disebut dan tak jarang berbeda dengan ketetapan dari pemerintah, serta tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengikutinya.

Bacaan Lainnya

Awal Ramadhan tahun ini menjadi contohnya, pemerintah baru akan menentukan awal puasa melalui sidang itsbat yang dijadwalkan Minggu, 10 Maret 2024.

Adapun NU melalui Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menentukan mulai puasa Ramadhan 2024 melalui dua tahapan.

Tahap pertama didasarkan dari hasil hisab posisi hilal pada 29 Syaban dengan kriteria yang mengacu pada imkanur rukyat hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Penetapan pastinya baru akan ditentukan melalui pengamatan hilal sesuai dengan ketetapan sidang itsbat Kemenag

Sementara itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sudah jika awal puasa Ramadhan jatuh pada 11 Maret 2024. Hal tersebut berdasarkan surat penetapan Hasil Hisab Awal Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijah 1445 H yang ditandatangani Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah Hamim Ilyas dan Sekretaris Atang Solihin.

Berdasarkan keputusan tersebut, hilal sudah terlihat dan awal Ramadhan sudah dimulai sejak terbenamnya matahari pada 10 Maret 2024. Berpedoman pada hisab wujudul hilal, tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta pada 10 Maret 2024 yakni (¢ = -07° 48′ LS dan l= 110° 21′ BT ) = +00° 56′ 28″.

Akan tetapi, penetapan tersebut mendapat tanggapan kurang baik secara fikih dari kiai muda asal Jember, KH. Abdul Wahab Ahmad melalui akun media sosialnya.

Menurutnya, menetapkan awal puasa dengan pedoman wujudul hilal masih nol derajat (+00° 56′ 28″) adalah melanggar semua kesepakatan, sehingga penetapan ini termasuk pendapat yang syadz (nyeleneh).

Hal ini karena tidak ada satu pun dalil yang memperbolehkan memulai puasa ketika hilal masih nol derajat, baik dari ulama, pendapat sahabat, serta hadits. Bahkan, yang lemah sekalipun.

Sedangkan dalam banyak refrensi disebutkan bahwa pendapat syadz dalam fikih tidak boleh diikuti, dan tidak ada ruang sedikitpun untuk bertoleransi.

Untuk menghindari kesalahpahaman dan memahami dialektika keilmuan yang benar silahkan kunjungi langsung postingan akun Facebook Kiai ‘Abdul Wahab Ahmad’ atau dengan link berikut ini:

Wallahu A’lam Bisshawab…