Frensia.id – Setiap bangsa memiliki cara sendiri dalam memaknai waktu. Dan dalam Islam, salah satu waktu yang tidak hanya sakral tetapi juga kaya makna adalah 1 Muharram, awal tahun dalam kalender Hijriah.
Sayangnya, di banyak tempat, kehadirannya sering terlewat begitu saja, tertutup oleh perayaan besar lain. Padahal jika direnungkan, 1 Muharram adalah panggilan halus untuk berpindah—bukan hanya dari tahun ke tahun, tapi dari gelap ke terang, dari lalai ke sadar, dari rutinitas ke refleksi.
Studi Celebrating 1 Muharram: History, Tradition, And Meaning In The Islamic Context (2024), Muhammad Farchani, dkk., menelusuri bagaimana umat Islam di berbagai negara merayakan 1 Muharram. Ternyata, seperti sungai yang mengalir dari satu mata air tetapi bercabang ke banyak arah, peringatan 1 Muharram memiliki wajah yang berbeda-beda, namun tetap bersumber dari makna spiritual yang sama.
Di Indonesia –terutama di Jawa– 1 Muharram atau “Suro” bukan sekadar pergantian tahun. Ia dianggap sebagai bulan keramat. Warga menjalani puasa, zikir, pengajian, bahkan ritual budaya seperti “tirakat” dan ziarah ke makam para wali. Di beberapa daerah, “Malam Suro” diwarnai dengan doa bersama atau upacara adat yang bertujuan menangkal bala. Sebuah ekspresi lokal dari kecintaan terhadap waktu-waktu sakral.
Sementara itu, di Iran dan komunitas Syiah lainnya, 1 Muharram membuka pintu menuju Asyura, hari kesepuluh yang mengingatkan kita pada tragedi Karbala. Di sana, Muharram menjadi ruang duka, bukan untuk meratap semata, tetapi sebagai ajakan merefleksikan keberanian, keadilan, dan pengorbanan Imam Husain. Peringatan ini dilakukan dengan puisi, kisah duka, hingga drama spiritual yang menyentuh hati.
Lalu bagaimana dengan dunia Arab? Di Mesir, Arab Saudi, dan negara-negara Timur Tengah lainnya, Muharram sering menjadi momen perenungan pribadi. Berpuasa pada hari Asyura menjadi amalan utama, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW, sebagai bentuk syukur atas keselamatan Nabi Musa AS dari kezaliman Fir’aun.
Ketiga bentuk perayaan itu—Jawa, Iran, dan Timur Tengah—berbeda dalam bentuk, tetapi satu dalam ruh: semua ingin mendekat kepada Allah, semua ingin menjadikan waktu suci sebagai cermin untuk melihat ke dalam. Inilah keindahan Islam: satu iman, banyak ekspresi.
Namun pertanyaannya, bagaimana sebaiknya kita menyikapi perbedaan tradisi ini?
Sebagai umat yang semakin terhubung secara global, kita tidak bisa lagi memaksakan satu bentuk ekspresi keislaman sebagai satu-satunya kebenaran. Justru keberagaman inilah yang memperkaya. Sama seperti bumi yang subur karena beragam tanaman, Islam menjadi indah karena warna-warni budayanya yang tetap bersandar pada tauhid.
Dalam kontesk ini, yang terpenting bukan bentuk luarnya, tapi isi spiritualitasnya. Mau itu puasa, ziarah, berkabung, atau berdoa dalam sunyi, jika diniatkan untuk memperbaiki diri, maka semuanya sahih dalam semangat Hijrah: berpindah dari kekurangan menuju perbaikan.
Tradisi memang lahir dari budaya, tapi tidak berarti ia lepas dari nilai. Tradisi bisa menjadi pintu menuju ketakwaan, selama tidak kehilangan arah. Sebaliknya, tanpa makna, ritual hanya jadi rutinitas. Maka, tugas kita adalah menghidupkan makna itu kembali. 1 Muharram bukan sekadar momentum tahunan.
Ia adalah ajakan tahunan untuk menata niat, memperbaiki hidup, dan mengenang perjalanan umat menuju cahaya. Dan bila itu dilakukan dengan hati yang jernih, dalam bentuk apa pun tradisinya, maka 1 Muharram akan tetap menjadi detak spiritual yang menguatkan kita semua.*