Frensia.id – Salah satu ibadah yang disyariatkan dalam Islam dan sarat makna sosial adalah qurban. Ibadah ini tidak hanya menjadi manifestasi kepatuhan spiritual seorang Muslim kepada Allah SWT, tetapi juga bentuk konkret solidaritas sosial di tengah masyarakat. Namun, qurban bukanlah kewajiban bagi semua orang. Ia hanya disyariatkan bagi mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Para ulama sepakat bahwa syarat bagi orang yang hendak berqurban mencakup: Muslim, merdeka, baligh, berakal, bertempat tinggal tetap di suatu wilayah, serta—yang menjadi sorotan kita kali ini—mempunyai kemampuan (istitha‘ah).
Kemampuan di sini tentu tidak semata dimaknai secara kasat mata, seperti memiliki uang atau harta. Ia adalah konsep yang mengalami penafsiran mendalam oleh para ulama dari berbagai mazhab. Perbedaan tafsir ini bukanlah pertentangan, melainkan refleksi dari keluasan syariat dalam merespons kondisi dan realitas umat yang beragam.
Mazhab Ḥanafī, misalnya, menetapkan batas kemampuan dengan sangat konkret: seseorang dianggap mampu apabila memiliki kelebihan harta senilai 200 dirham, setelah dikurangi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Jika dikalkulasi secara kontemporer, 200 dirham ini setara dengan kurang lebih Rp 7,2 juta. Dengan ukuran ini, mazhab Ḥanafī sejatinya meminjam kerangka yang digunakan dalam zakat, menempatkan qurban sebagai ibadah sunah yang memerlukan standar kelayakan finansial.
Berbeda dengan itu, mazhab Mālikī mempersyaratkan adanya kelebihan harta di luar kebutuhan pokok untuk satu tahun penuh. Artinya, ukuran kemampuan di sini bersifat lebih hati-hati dan mempertimbangkan ketahanan ekonomi pelaku qurban dalam jangka panjang. Bila seseorang memerlukan hartanya untuk memenuhi kebutuhan primer selama setahun, maka ia tidak dianjurkan berqurban. Ini menunjukkan betapa Islam mengedepankan keseimbangan antara ibadah dan pemeliharaan hidup.
Mazhab Syāfi‘ī, yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam Indonesia, menekankan pada adanya kelebihan harta senilai hewan qurban setelah mencukupi kebutuhan diri dan tanggungannya. Pendekatan ini mencerminkan keadilan individual, yakni mendorong umat untuk berqurban jika benar-benar telah mencukupi diri dan keluarganya. Islam dalam mazhab ini hadir dengan wajah welas asih: tidak menuntut ibadah dari mereka yang belum mampu, namun membuka ruang luas bagi yang memiliki kecukupan.
Sementara itu, mazhab Ḥanbalī memiliki pendekatan yang agak unik. Seseorang dianggap mampu berqurban bahkan jika ia harus berutang, selama diyakini mampu membayarnya. Ini adalah pendekatan yang menekankan nilai spiritual dan semangat pengorbanan, bahwa qurban adalah ibadah yang sangat luhur sehingga layak untuk diikhtiarkan—bahkan dengan meminjam uang. Namun tentu saja, sikap ini memerlukan kehati-hatian dan kesadaran finansial yang tinggi agar tidak menimbulkan beban yang memberatkan di kemudian hari.
Keempat pandangan ini menunjukkan bahwa “mampu” bukanlah istilah sederhana. Ia mencakup pertimbangan ekonomi, sosial, bahkan psikologis. Islam bukan agama yang memaksa di luar batas kemampuan umatnya. Ukuran istitha‘ah dalam qurban bukanlah pintu sempit yang menyulitkan, melainkan koridor bijak yang memberi ruang seluas-luasnya bagi siapa pun untuk beribadah dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dalam ibadah qurban, kemampuan bukan hanya soal harta, tetapi juga tentang niat dan pertimbangan yang matang. Islam menempatkan qurban sebagai ibadah yang luhur—ia bukan beban, tetapi pilihan mulia yang hanya ditujukan bagi mereka yang benar-benar mampu. Di sanalah letak keindahan syariat: memberi semangat tanpa memaksa, membuka peluang tanpa membebani.