Rahuvana Tattwa Karya Agus Sunyoto, Sebuah Tafsir Kritis Ramayana yang Anti Mainstream

Sabtu, 21 September 2024 - 08:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

buku karya KH Agus Sunyoto (Ilustrasi/Arif)

buku karya KH Agus Sunyoto (Ilustrasi/Arif)

Frensia.id- Budayawan NU, KH. Ng. Agus Sunyoto menampilkan sebuah kisah Ramayana secara berbeda daripada apa yang telah diketahui publik secara luas.

Ramayana merupakan salah satu kisah epik kepahlawanan yang berasal dari India, menceritakan pergulatan oposisional antara Sri Rama dan Rahwana.

Wiracarita yang digubah oleh Walmiki ini, sebagaimana diketahui oleh masyarakat secara umum merupakan kisah bagaimana kebenaran mampu menumpas kejahatan.

Dalam konteks cerita yang difahami secara mainstream, sosok Rama merupakan representasi dari kebenaran dan Rahuvana atau Rahwana memerankan sosok yang merepresentasikan kejahatan.

Sebagaimana lazimnya dalam penyajian alur cerita, kejahatan selalu akan dikalahkan. Begitu pula dengan nasib Rahwana, ujung dari cerita Ramayana ini menampilkan hancurnya kerajaan Alengka yang diserang habis-habisan oleh pasukan kera dari kerajaan Kiskenda, yang menjadi sekutu dari Sri Rama Wijaya.

Cerita yang disampaikan secara turun-temurun dengan menampilkan kemenangan dari pihak Sri Rama Wijaya, menjadi kesempatan bagi pemenang untuk memproduksi sejarah dan kebenaran-kebenarannya, sekaligus mempertegas kejahatan dari lawannya.

Dalam buku Rahuvana Tattwa ini, Sejarawan NU yang juga pernah menjabat sebagai ketua Lesbumi PBNU ini menghadirkan sebuah catatan-catatan kritis sebagai hasil pembacaannya terhadap epos Ramayana.

Baca Juga :  Pandangan Plato Mengenai Swasembada

Dalam upayanya membedah cerita secara telanjang dengan melepaskan atribut bahwa sejarah milik mereka yang menang, terdapat beberapa temuan-temuan yang menarik dan jarang sekali diketahui oleh pembaca pada umumnya, yang mendasari sikap-sikap dari kubu antagonis, Rahwana dan kebijakan kerajaannya.

Pertama, budaya yang dianut. Rahwana sebagai bagian dari wangsa raksasha, menganut sistem budaya matrilineal, dimana menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat. Sebaliknya dengan Rama, yang menganut sistem budaya patrelineal, yang menganggap kaum lelaki lebih tinggi dari perempuan.

Inilah yang menjadi sebab ketika Rahwana menculik Sinta, ia justru memperlakukannya secara terhormat, bak seorang ratu.

Hal sebaliknya dilakukan oleh Rama dan Lesmana, yang menganggap ungkapan cinta Surphanaka secara terbuka merupakan prilaku yang tidak wajar. Karena tidak semestinya perempuan, yang mereka anggap rendah, menyatakan hal tersebut.

Sedangkan Surphanaka yang dididik dengan nilai dimana perempuan tidak lebih rendah dari lelaki menganggap tindakan tersebut sebagai sesuatu yang baik-baik saja.

Kedua, alasan yang mendasari Rahwana untuk merebut kekuasaan. Upaya Rahwana untuk senantiasa mencaplok beberapa wilayah menjadikan dirinya dikenal arogan dan tamak.

Baca Juga :  Sekolah Tiga Bahasa Rukun Harapan Jember: Jodoh Perjuangan Gus Dur dengan Pendiri Yayasan

Tetapi, lepas dari stigma tersebut, Rahwana mempunyai dasar yang cukup kuat dan dapat dibenarkan akan kebijakan negaranya tersebut. Bahwa wilayah yang ia rebut sebenarnya adalah merupakan kekuasaan Indra yang dulunya memababi buta dan haus akan kekuasaan.

Pertentangan Indra lebih dulu terjadi dengan kakek Rahwana, Prabu Sumali. Sebagai yang mempunyai anugerah kesaktian yang luar biasa Indra mencoba untuk menguasai berbagai wilayah dan memaksa penduduknya, yang awalnya menyembah Siwa, untuk menyembah dirinya.

Sebagai penganut Siwa, Rahwana merasa tersakiti, hingga akhirnya ia melakukan pembalasan yang sangat hebat. Tindakan-tindakan Rahwana yang tidak pernah difahami lebih dulu akar alasannya, menyebabkan diriya sebagai seorang angkara murka dan tamak.

Agus Sunyoto menghadirkan temuan-temuan dari bacaaanya akan Ramayana secara kritis, dimana jarang sekali orang memahami kisah tersebut dengan meggunakan asumsi yang menjadikan karakter tersebut melakukan sebuah perbuatan.

Oleh karena itu pengarang buku Atlas Walisongo tersebut, sebenarnya mengajak pembaca untuk tidak sekedar memahami kesimpulannya saja, tetapi juga mengikuti analisisnya.  

Follow WhatsApp Channel frensia.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Baca Lainnya

Sebanyak 782 Ijazah Diantar ke Rumah Siswa Secara Gratis, Cabdin Jember: Tak Ada Lagi Penahanan Karena Tunggakan
Model Kurikulum Murray Print: Solusi Menggapai Pendidikan Progresif
Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran
Pandangan Plato Mengenai Swasembada
Tentang Protes RUU TNI, Komentar Deddy Corbuzier Dianggap Keliru
Apa Peranan Tentara Apabila Tidak Ada Perang? Begini Penjelasan Pakar Politik Militer
Akademisi Jadi Budak Politisi: Hilangnya Marwah Perguruan Tinggi
Dituding Adanya Pungutan Pada Sekolah di Jember, Begini Tanggapan MKKS SMK Swasta Kabupaten Jember

Baca Lainnya

Selasa, 15 April 2025 - 21:54 WIB

Sebanyak 782 Ijazah Diantar ke Rumah Siswa Secara Gratis, Cabdin Jember: Tak Ada Lagi Penahanan Karena Tunggakan

Sabtu, 5 April 2025 - 17:32 WIB

Model Kurikulum Murray Print: Solusi Menggapai Pendidikan Progresif

Selasa, 1 April 2025 - 08:23 WIB

Lima Jawaban Elegan Untuk Pertanyaan Sensitif Saat Lebaran

Senin, 24 Maret 2025 - 20:45 WIB

Pandangan Plato Mengenai Swasembada

Minggu, 23 Maret 2025 - 19:15 WIB

Tentang Protes RUU TNI, Komentar Deddy Corbuzier Dianggap Keliru

TERBARU

Opinia

Meluruskan Makna Kemanusiaan

Jumat, 18 Apr 2025 - 06:34 WIB

Kolomiah

Belajar dari Arsenal dan Real Madrid: Part II

Kamis, 17 Apr 2025 - 12:29 WIB