Frensia.id – Ramadhan datang, kita berlomba-lomba beribadah. Malam pertama tarawih, masjid penuh sesak. Mushaf baru dibeli, niat khatam pun membuncah. Seakan, inilah momentum untuk menjadi lebih baik. Tapi seperti grafik saham, semangat itu naik-turun. Minggu pertama masih rajin tahajud, minggu kedua mulai berat, dan menjelang minggu ketiga, kantuk saat sahur lebih dominan ketimbang dzikir.
Kita sibuk. Sibuk mengejar target ibadah, sibuk menyusun daftar menu berbuka, sibuk belanja persiapan lebaran. Sibuk dengan banyak hal, kecuali dengan diri sendiri.
Di antara semua kesibukan itu, ada satu hal yang tetap kita cari: ketenangan. Karena sehebat apa pun ibadah kita, kalau hati masih penuh sesak dengan kegelisahan dunia, tetap saja ada yang kurang. Maka, di hari ke-15 Ramadhan ini, kita diajak berdoa meminta dua hal yang sangat berharga: ketaatan yang khusyuk dan hati yang lapang.
اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي فِيهِ طَاعَةَ الْخَاشِعِيْنَ، وَاشْرَحْ فِيْهِ صَدْرِي بِإِنَابَةِ الْمُخْبِتِيْنَ، بِأَمَائِكَ يَا أَمَانَ الْخَائِفِينَ
“Ya Allah, anugerahkan padaku di dalamnya ketaatan orang-orang yang khusyuk, lapangkan dadaku dengan taubatnya orang-orang yang memperoleh ketenteraman, dengan keamanan-Mu, wahai Yang Memberi rasa aman kepada orang-orang yang ketakutan.”
Menarik, doa ini tidak hanya meminta bisa taat, tetapi taat seperti orang-orang yang khusyuk. Artinya, bukan sekadar shalat dan puasa, tapi benar-benar merasakannya. Seperti orang yang shalat bukan karena takut dosa, tapi karena rindu bertemu Tuhan. Seperti orang yang berpuasa bukan sekadar menahan lapar, tapi juga menahan diri dari sikap dan kata-kata yang menyakiti.
Masalahnya, khusyuk ini sering terasa seperti sinyal WiFi—ada, tapi sering putus-putus. Apalagi kalau di masjid, niat shalat tapi pikiran malah melayang ke daftar belanjaan lebaran. Atau saat membaca Al-Qur’an, yang dihafal justru lirik iklan sirup. Maka, dalam doa ini, kita juga meminta kelapangan dada, karena hati yang sempit sulit untuk benar-benar hadir dalam ibadah.
Lapang dada di sini bukan hanya soal sabar atau menerima keadaan, tapi soal menemukan ketenangan. Sebab, ada orang yang terlihat taat, tapi hatinya penuh beban. Shalat, puasa, sedekah, semua dijalankan, tapi tetap gelisah. Mungkin karena ibadahnya masih sekadar rutinitas, belum benar-benar menjadi jalan kembali ke Allah.
Yang menarik, doa ini ditutup dengan permohonan rasa aman. Sebab kenyataannya, hidup ini penuh ketakutan. Takut rezeki seret, takut kehilangan, takut masa depan tak sesuai harapan. Tapi anehnya, ada juga orang yang justru takut kalau hidupnya terlalu tenang—seperti pejabat yang resah kalau tidak ada korupsi yang bisa dilakukan.
Di sinilah pentingnya memahami bahwa keamanan sejati bukan datang dari memiliki segalanya, tapi dari merasa cukup dengan apa yang ada. Seperti anak kecil yang tidur nyenyak di pelukan ibunya, bukan karena dia tahu ibunya kaya atau miskin, tapi karena dia percaya bahwa ada yang menjaganya.
Ramadhan selalu mengajarkan satu hal: bahwa Allah lebih dekat daripada yang kita kira. Jika kita merasa jauh, itu bukan karena Dia yang menjauh, tapi karena kita yang sibuk sendiri. Sibuk dengan target, sibuk dengan dunia, sibuk dengan segala hal—kecuali dengan hati sendiri.
Maka, sebelum Ramadhan pergi, mari bertanya pada diri sendiri: sudahkah ibadah kita penuh rasa? Sudahkah hati kita benar-benar lapang? Atau jangan-jangan, selama ini kita hanya menjalani ritual tanpa benar-benar merasakan maknanya?
Karena pada akhirnya, yang benar-benar kita cari di bulan ini bukan hanya pahala, tapi juga hati yang lebih tenang. Dan semoga, sebelum adzan maghrib berkumandang di hari terakhir Ramadhan, kita sudah menemukan jalan pulang menuju-Nya. Semoga*