Frensia.id– Ramadhan datang membawa janji: setan dibelenggu, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup. Seharusnya, suasana jadi lebih teduh, lebih damai. Tapi kenyataan di lapangan berkata lain—kemaksiatan tetap saja marak. Hoaks masih berseliweran, korupsi tetap jalan, dan acara gosip tak pernah absen dari layar kaca. Lantas, kalau setan sudah dipasung, siapa yang kerja lembur menggoda manusia?
Imam Qurtubi punya jawaban yang menarik. Menurutnya, ada beberapa sebab kenapa maksiat tetap terjadi di bulan suci ini. Pertama, puasa yang tidak dijalankan dengan benar. Kedua, tidak semua setan dipenjara—masih ada yang berkeliaran. Ketiga, meskipun setan benar-benar diikat, manusia punya musuh lain yang tak kalah hebat: hawa nafsu, kebiasaan buruk, dan “setan berbentuk manusia.”
Sebagian orang mengira puasa hanya soal menahan lapar dan haus. Padahal, puasa sejatinya adalah latihan pengendalian diri. Makanya, meski mulutnya tak menyentuh makanan, masih ada yang lidahnya sibuk mencela orang lain. Tangan boleh tertahan dari menyuap nasi, tapi tetap rajin menyuap pejabat.
Rupanya, ada orang yang puasanya sekadar ritual fisik. Adab dan etikanya tak ikut berpuasa. Imam Qurtubi mengingatkan bahwa puasa yang sempurna bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tapi juga dari segala perbuatan buruk. Jika puasa hanya soal perut, maka yang merasakan manfaatnya mungkin hanya timbangan badan—bukan akhlak.
Kalau kita lihat ke sekitar, fenomena ini bukan barang baru. Ada yang ketika berbuka sibuk menilai masakan, tapi lupa menilai diri sendiri. Ada yang khusyuk beribadah, tapi tetap tega menindas orang lain dengan dalih kebijakan. Puasa model begini, jelas, tak akan menghalangi maksiat.
Kedua, Qurtubi menegaskan bahwa tidak semua setan dipenjara. Mungkin yang dibelenggu adalah kelas kakapnya, tapi yang kelas teri masih berseliweran mencari celah. Bahkan bisa jadi, yang dibelenggu itu hanya setan dalam artian makhluk gaib, sedangkan setan dalam bentuk kebiasaan buruk masih merajalela. Toh, iblis pun bisa mengambil cuti dan menitipkan tugasnya kepada manusia yang sudah cukup terlatih.
Ini bagian yang ketiga, Musuh Sejati manusia, Nafsu dan Kebiasaan Buruknya sendiri. Mari kita asumsikan semua setan benar-benar dirantai. Apakah maksiat akan berhenti? Tidak juga. Sebab, musuh utama manusia bukan hanya setan, tapi juga nafsu dan kebiasaan buruk.
Nafsu tak butuh bisikan iblis untuk bergerak. Ia sudah punya sistem autopilot yang siap menjerumuskan manusia kapan saja. Orang yang terbiasa berbohong, misalnya, tak perlu setan untuk membimbingnya—mulutnya sudah otomatis bekerja. Yang sudah terbiasa korupsi, tangannya sudah otomatis bergerak ke arah yang tak seharusnya.
Ada pula “setan dalam bentuk manusia”—mereka yang dengan sadar menjerumuskan orang lain. Kadang lebih berbahaya dari setan sungguhan, karena mereka punya kecerdasan, strategi, dan dalih yang lebih meyakinkan.
Alhasil, Ramadhan, Waktunya Mengikat Diri Sendiri. Ramadhan bukan sekadar menahan lapar, melainkan momen untuk introspeksi. Jika maksiat masih terjadi, jangan buru-buru menyalahkan setan yang mungkin lolos dari belenggu. Bisa jadi, kita sendiri yang sudah terlalu ahli dalam melakukan keburukan tanpa bimbingan setan.
Maka, kalau Ramadhan ini kita masih sulit menahan diri dari kebiasaan buruk, barangkali bukan setan yang harus dibelenggu—melainkan diri kita sendiri