Frensia.id- Praktiknya memperoleh keberkahan sangat terlihat dalam budaya pesantren. Seorang santri sangat faham mana yang halal dan mana yang haram. Mana yang syubhat dan mana yang tidak. Apabila seorang santri hendak mengikuti pengajian kitab kuning, pastikan bahwa tinta yang digunakan untuk memaknai teks kitab yang diterjemahkan seorang kyai atau untuk mencatat perkara-perkara penting yang disampaikan oleh sang kyai, maka dipastikan harus diperoleh dengan cara yang halal. Semisal beli dengan uang sendiri. Bukan lagi menggunakan pulpen mili teman tanpa bilang atau beli dari uang teman yang diambil dari saku atau lemarinya tanpa diketahui keikhlasannya.
Hal tersebut akan mengakibatkan ilmu yang diperoleh tidak manfaat dan tidak berkah. Alih-alih akan mengantarkan si penuntut ilmu ke jalan kebenaran, justru akan menggiringnya ke bibir kehancuran. Apa yang dikeketahui tidak bisa memberikan jalan keluar dari segala permasalahan yang dimiliki. Orang tersebut kelak tidak akan menjadi seseorang yang baik atau sholeh, secara ritual lebih-lebih spiritual.
Setelah keluar dari pesantren pemahaman dan praktik seperti ini mulai kendor, setidaknya akan menggampangkan segala hal. Akan tetapi hukum keberkahan masih dan terus berlangsung. Persoalan-persoalan mendetail seperti tinta yang digunakan tidak begitu menjadi perhatian. Yang diperhatikan biasanya yang lebih besar, seperti beli buku bajakan.
Karena buku yang original harganya lebih mahal, terpaut jauh dengan yang bajakan. Maka yang palsu menjadi solusi. Perkara seperti ini harus diperhatikan oleh para politisi yang hendak membaca Il Principe-nya Machiavelli, lebih-lebih untuk hari-hari ini yang hendak menyongsong pemilihan umum 2029.
Seyogyanya seorang politisi memilih dan membelinya dari jalur yang legal. Agar berkah. Sehingga ia mampu mempraktikkan isi bukunya dengan maksimal dan optimal. Buku yang disebut oleh Sir Arthur Betrand Russel sebagai “buku pedoman untuk para Gangster”. Sedangkan Bennito Musolini menyebutnya dengan “manual untuk para negarawan”. Jadi pembaca yangberhasil diharapkan menjadi seorang negarawan, artinya ia dipercaya untuk mengurusi kepentingan orang banyak, dan seorang gangster, artinya ia harus punya banyak cara untuk mencapai tujuannya dan memperoleh pembenaran di ujungnya.
Machiavelli adalah seorang realis. Ia menggambarkan situasi politik apa adanya. Jadi jika ia mengatakan “seorang pemimpin tidak pernah kekurangan alasan untuk mengingkari janjinya” maka itu memang benar adanya. Sejak ia berkata pada abad ke-15 hingga hari ini, abad ke-21 kebenaran tersebut belum bergeser. Masih sama.
Para politisi selalu punya alasan untuk mengingkari janjinya, bahkan tanpa harus membaca Machiavelli. Bahkan dirasa mereka yang duduk di kursi-kursi kekuasaan dapat diragukan apabila tahu atau pernah mendengar nama Machiavelli.
Bahkan tanpa mengenalnya atau membaca bukunya, mereka sudah mahir untuk mempraktikkannya. Jika buku Il Principe dianggap sebagai buku ramalan dari abad 15 di Itali, maka bisa dikatakan bahwa ramalan tersebut masih berlangsung tidak hanya di negara asalnya tetapi di seluruh pelosok negara. Daripada itu tidak penting mengharapkan para politisi kita untuk membaca Il Principe. Praktik sudah persis, nyaris sempurna apalagi kemudian yang diinginkan. Jalur legal untuk memperolehnya lebih tidak penting lagi. Bahkan tidak memperolehnya ternyata sudah mahir sekali untuk menguasai treatment-treatment didalamnya.
Jika terdapat seorang politisi salah mengambil sudut pandang akan suatu persoalan sehingga mereka membuat kebijakan yang cenderung tidak memproduksi keadilan. Bisa jadi karena literasinya kurang atau bisa jadi pula karena berhimpitan dengan kepentingan pribadi atau partainya. Tetapi kekuarangan literasi, karena tidak mengetahui Il Principe, tidak akan mengurangi kemampuannya untuk selalu mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara sebagaimana yang tercantum dalam kandungan isi buku tersebut.
Bahkan tidak perlu mengandalkan keberkahan agar mampu mendalaminya dengan baik. Diluar konteks keberkahan itu sendiri, para politisi selalu saja mampu untuk menjadi apa yang dibicarakan oleh Machiavelli dalam bukunya tersebut.
Jika hari ini buku Il Principe masih saja ada di rak-rak buku sangat dipastikan bahwa rak buku itu milik perguruan tinggi atau para pengkajinya dari kalangan akademisi, tidak dari yang lain. Begitu pula, jika buku tersebut masih dicetak dan laku di pasaran berarti peminatnya adalah para akademisi pula, tidak yang lain. Akademisi yang membacanya dan membicarakannya kemudian memberikan sifat kepada para politisi dengan apa yang disampaikan oleh Machiavelli dalam buku tersebut.
Apabila suatu saat para sarjana sudah capek dengan identitas akademisnya dan mencoba mencari peruntungan lain di kancah politik, maka yang membaca Machiavelli akan lebih utama karena dibekali dengan teori daripada yang tidak membaca. Hanya saja perlu diingat apa yang dikatakan oleh W.S Rendra dalam salah satu syairnya yang berjudul pesan pencopet kepada pacarnya.
Ajarlah ia berkelahi
Jangan ragu untuk memukul dari belakang
Dan jangan memilih orang dari wataknya
Sebab hanya ada dua nilai, kawan atau lawan
Kawan bisa baik sementara
Sedangkan lawan selamanya jahat nilainya
Ia harus diganyang sampai sirna
Inilah hakikat ilmu selamat
Ajarlah ia untuk mencapai kedudukan tinggi
Demikianlah dunia persilatan, ragu sedikit atau berubah baik sedikit dan abai dengan kepentingannya, maka menjadi awal kehancuran.