Frensia.id- Pada tahun 2008 salah seorang dewan pengurus wilayah Partai Kebangkitan Bangsa propinsi Jakarta, KH. A. Nur Alam Bakhtir, menerbitkan sebuah buku yang berjudul 99 Keistimewaan Gus Dur.
Buku yang berjumlah 170 halaman ini, sesuai dengan judulnya, menyebutkan 99 keistimewaan sosok presiden ke 4 Republik Indonesia, berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis sejak tahun 1982.
Sebagaimana yang ia paparkan dalam kata pengantar, terkait dengan alasan mengapa buku ini ditulis salah satunya adalah agar pengagum Gus Dur dapat memperoleh informasi melalui buku ini dengan bahasa yang sederhana sedangkan bagi mereka yang tampak sinis terhadap Gus Dur dapat mengimbangi prasangka-prasangka dengan melihat sisi keistimewaannya.
Daripada itu, buku ini ditulis berdasarkan sudut pandang seseorang yang kagum dan mencintai cucu pendiri Nahdlatul Ulama’ dengan menampilkan sisi-sisi positifnya.
Menjadi menarik, ketika mengetahu respon dari sosok yang ditulis, yakni Gus Dur sendiri, yang mana memberikan kata sambutan dengan tajuk judul “Semua Tergantung Caranya Memandang”.
Gus Dur menyatakan bahwa sudah tentu isi tulisan pengurus wilayah PKB Jakarta tentang dirinya bersifat “baik”.
Pada kalaimat selanjutnya, Gus Dur menimpali sebagai sebuah pengakuan yang ia terima sejauh ini, bahwa dirinya kenyang dengan makian dan sikap menyalahkan dari orang lain.
Sangat masuk akal sekali apabila sisi-sisi yang baik akan keluar dari mereka yang mencintai begitu juga dengan sebaliknya, tidak ada satupun kebaikan yang tampak dari mereka yang begitu membenci.
Berkaitan dengan persoalan ini, Gus Dur memberika contoh dengan sosok besar pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler. Pemimpin ideologi fasisme paling kharismatik ini tidak diberi kesempatan karena penggambaran orang-orang Inggris dan Amerika Serikat yang menolak faham nasionalisme dan kebangsaannya.
Atas realita tersebut, Gus Dur sendiri memberikan saran, secara khusus untuk penulis dan pada umumnya untuk menjaga obyektifitas sebuah tulisan.
“karenanya, baik kecintaan maupun kebencian tidak boleh berdasarkan angan-angan saja”, jelasnya dalam kata sambutan singkat yang ia tulisa sebagai pengantar buku tersebut.
Gus Dur memberikan contoh supaya sebuah tulisan berumur panjang dengan cara memelihara obyektifitas, yakni dengan menyebut karya Ernest Hemingway yang berjudul The Old Man and the Sea dan karya-karya Kenzaburo Oe dari Jepang.