Frensia.id– Di balik sosok besar Gus Dur, ada nama Nyai Hj. Sholichah. Seorang ibu yang, sebelum memasak nasi, memilah sendiri butiran beras terbaik. Tidak hanya itu, setiap butir yang ia pilih, ia basuh dengan lembut sambil melafalkan shalawat. Sebutir demi sebutir.
Ritual itu begitu sakral hingga tak sembarang tangan boleh menyentuh nasi yang telah diberkahi shalawat itu—kecuali suaminya, KH Wahid Hasyim, ayah mertuanya, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, dan anak sulungnya, Abdurrahman Ad-Dakhil, yang kelak lebih dikenal sebagai Gus Dur.
Kisah ini bukan sekadar cerita sentimental dalam keluarga besar pesantren. Ada sesuatu yang lebih dalam: bagaimana keberkahan bisa tumbuh dari sesuatu yang paling sederhana. Shalawat yang dilafalkan seiring bulir beras yang dipilah, ternyata ikut menumbuhkan Gus Dur dalam dekapan spiritual yang tak kasatmata. Sebuah ketelatenan yang dalam narasi Islam disebut sebagai tarbiyah ruhaniyah—pendidikan ruhani—yang diam-diam membentuk karakter dan kecerdasan seorang anak.
Dan bulan ini, bulan Sya’ban, sering disebut sebagai bulan shalawat. Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki menegaskan, Sya’ban adalah bulan di mana perintah shalawat turun, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Ahzab: 56. Sebuah bulan yang di dalamnya, kita dianjurkan untuk memperbanyak pujian kepada Rasulullah ﷺ.
Sejarah mencatat, para ulama dan wali-wali Allah menjadikan Sya’ban sebagai bulan menggemakan shalawat. Dalam tradisi pesantren, ada amalan Shalawat Nariyah, Shalawat Munjiyah, hingga Shalawat Badar yang sering dilantunkan sepanjang bulan ini.
Namun, bagi Nyai Sholichah, shalawat itu bukan hanya bacaan. Ia menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan, melekat pada yang paling dekat: sebutir beras yang kelak menjadi nasi yang disantap anaknya.
Tradisi ini mungkin terdengar sederhana. Tapi dari perspektif spiritual, ada sesuatu yang lebih mendalam. Gus Dur tumbuh besar dalam limpahan shalawat yang bukan sekadar diucapkan, tetapi dihidupkan dalam laku keseharian. Bisa jadi, ini yang menjadikannya seorang pemimpin dengan hati yang luas, cara pandang yang jernih, dan keberanian melampaui zamannya.
Tapi, mari kita lihat sekeliling hari ini. Apakah kita masih menanamkan nilai-nilai keberkahan itu dalam keseharian? Ataukah shalawat hanya sekadar lantunan seremonial di masjid-masjid dan majelis, tanpa menyentuh praktik hidup kita?
Nyai Sholichah tidak sedang mengajarkan teori besar. Ia tidak menulis kitab tafsir atau kitab fiqh. Ia hanya seorang ibu yang memahami bahwa barokah tidak jatuh dari langit begitu saja, tetapi dirawat dalam hal-hal kecil—dalam bulir beras yang ia pilih, dalam shalawat yang ia lafalkan, dalam nasi yang ia suguhkan.
Jika bulan Sya’ban disebut sebagai bulannya shalawat, mungkin kita bisa belajar dari Nyai Sholichah. Bahwa shalawat tidak harus selalu menjadi suara lantang di podium, tetapi cukup menyusup dalam yang paling sederhana: dalam pekerjaan kita, dalam cara kita berbicara, dalam sikap kita pada sesama. Sebutir demi sebutir. Seperti beras yang dipilih dengan hati-hati.
Dan mungkin, seperti Gus Dur, keberkahan itu akan tumbuh tanpa kita sadari.*