Soe Hok Gie adalah seorang aktivis keturunan Tiong Hoa yang tumbuh dan besar pada era presiden Soekarno. Kepribadiannya yang unik, kombinasi antara keberanian dan kecemerlangan membawa cerita tersendiri, Danil Dhakidae membuat istilah dalam pengantar salah satu tulisannya dengan menyebut “Tragedi Anak Manusia”.
Hanya saja yang patut untuk disayangkan adalah usianya yang tidak panjang sekitar 27 tahun antara 1942-1969.
Namanya turut dikenal sampai sekarang, dari generasi ke generasi berkat produktifitasnya dalam menyuarakan pikirannya lewat tulisan-tulisan.
Karir penulisannya dimulai dari catatan diarynya yang ia tulis saat usia masih belia, yaitu 14 tahun. Selanjutnya catatan tersebut dijadikan satu dan dipublish menjadi sebuah buku yang diberi judul Catatan Seorang Demonstran.
Beberapa karya tulis lainnya yang dapat ditemukan sampai hari ini diantaranya adalah Dibawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, Zaman Peralihan, Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah Tentang Pemberontakan madiun 1948.
Tulisan-tulisan yang sempat beredar di media cetak kala itu memberikan arti tersendiri pada sosok aktivis yang cukup diperhitungkan di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia.
Begitu pula dengan keberaiannya tatkala mengorganisir massa untuk melakukan demonstrasi menentang kediktatoran pemerintahan akhir presiden Soekarno.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Herman Lantang, sahabat Gie yang pernah menjabat sebagai mantan ketua senat fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada saat demonstrasi berlangsung Gie pernah membaringkan diri di hadapan tank baja yang sedang melaju dalam suatu demonstrasi menentang presiden Soekarno.
Seluruh pembaca Soe Hok Gie akan memberi kesimpulan sebagai tersebut. Akan tetapi bagi teman-teman dekatnya yang masih hidup sampai hari ini, ada beberapa hal yang tidak cukup diketahui oleh publik mengenai jati diri kawannya tersebut.
Disamping sosok yang garang di hadapan kekuasaan, ternyata Gie juga mempunyai jiwa yang halus. Hal tersebut tercermin dari beberapa sajaknya yang ia selipkan di diary-nya disamping narasi-narasi protes dan ketidak puasan yang lebih sering dikenal para pembacanya.
Berikut salah satu sajak Gie yang ia tulis sekitar satu bulan sebelum ia wafat, tercatat pada diary-nya yang berjudul “Catatan Seorang Demonstran”, tertanggal 11 November 1969.
“Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin menghabiskan waktu ku di sisi mu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandala Wangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biapra
Tapi aku ingin mati di sisi mu, Manis ku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu
Mari sini sayang ku…
Kalian yang pernah mesra,
Yang pernah baik dan simpati pada ku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita tak kan pernah kehilangan apa-apa”
Oleh karena itu Soe Hok Gie tidak hanya perpaduan antara keberanian dan kecerdasan tetapi juga terdapat subtansi lain yang turut serta membentuk sosoknya yang nyata, yaitu kehalusan jiwa.
Tidak aneh apabila dalam soal asmara Gie cukup digandrungi oleh banyak wanita. Tetapi bukan berarti bahwa dengan demikian adik dari aktivis Arif Budiman ini berlaku dan bersikap seenaknya kepada banyak wanita, justru sebaliknya.
Sebagaimana yang dikisahkan oleh salah seorang kawannya, almarhum Rudy Badil, pada waktu mendaki gunung, pernah suatu kali Gie tidur dengan adik kelasnya yang ia cintai dalam satu tenda. Setelah pagi tiba Badil bertanya secara serius, apa saja yang ia lakukam semalam. Tanpa disangka dan diluar dugaan Soe Hok Gie tidak melakukan apapun, bahkan menurut pengakuannya langsung ia tidur berjauhan.
Gie sendiri dikenal sebagai pribadi yang pemalu dan puritan apabila dihadapkan dengan perempuan, bahkan beberapa kawannya sampai menyebutnya alim.