Frensia.id – Perdebatan netizen tentang tindakan Gus Miftah terhadap penjual ws teh, Sunhaji, terus menjadi topik panas di media sosial.
Suasana semakin memanas setelah Gus Miftah memutuskan untuk mundur dari jabatannya sebagai staf khusus utusan presiden. Di tengah polemik ini, budayawan Sujiwo Tejo mengunggah monolog yang menggelitik di akun Instagram-nya.
Dalam unggahan tersebut, ia meminta maaf sekaligus menyampaikan pandangan bahwa Indonesia adalah negeri para wali.
Monolog Sujiwo Tejo, yang sarat dengan gaya tutur khasnya, menyampaikan permintaan maaf kepada beberapa pihak. Ia memulai dengan meminta maaf kepada Gus Miftah, seraya menyebutnya sebagai seorang wali yang bertindak di luar dugaan.
Menurut Sujiwo, tindakan Gus Miftah yang tampak seperti “mengolok-olok” Sunhaji sebenarnya adalah bentuk kasih sayang seorang wali.
Ia menafsirkan bahwa cara Gus Miftah mengangkat Sunhaji—hingga mampu berangkat umroh dan memiliki kehidupan yang lebih baik—adalah tindakan mulia yang sengaja dilakukan tanpa ingin terlihat memuji.
Sujiwo kemudian melanjutkan dengan permintaan maaf kepada Sunhaji. Ia menyoroti kesediaan Sunhaji menerima bantuan tersebut meskipun mungkin terkesan pura-pura senang.
Sujiwo mengingatkan bahwa seseorang yang berniat berumroh atau berhaji namun belum mampu tetap mendapatkan pahala yang sama.
Dalam pandangannya, nama “Sunhaji” sendiri sudah menjadi representasi spiritual.
“Walaupun dia tidak umroh, dia tetap Sunhaji,” ujarnya dengan nada penuh makna.
Yang menarik, Sujiwo juga mengarahkan permintaan maafnya kepada netizen. Dalam nada setengah bercanda, ia menyebut netizen sebagai wali yang berpura-pura menghujat Gus Miftah.
“Padahal di dalam hati memuji, agar supaya tidak kelihatan memuji,” ungkapnya.
Pernyataan ini menjadi tamparan halus bagi dinamika netizen yang kerap mengkritik dengan nada keras, namun sebenarnya menyimpan apresiasi.
Tak lupa, Sujiwo juga menyinggung para penguasa. Ia meminta maaf karena sempat berprasangka bahwa mereka tidak mengambil tindakan tegas terhadap Gus Miftah demi kepentingan citra.
Namun, dalam pandangan Sujiwo, penguasa pun bertindak seperti wali—menjaga keseimbangan tanpa menonjolkan diri.
Di akhir monolognya, Sujiwo menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negeri para wali. Semua elemen masyarakat, mulai dari netizen, Gus Miftah, Sunhaji, hingga penguasa, ia anggap sebagai wali yang saling menjalankan peran dengan cara yang unik.
“Gus-gus itu wali, penguasa juga wali, netizennya wali. Ternyata Indonesia adalah negara para wali.”
Unggahan ini memancing berbagai respons dari netizen. Ada yang merasa terhibur, ada pula yang tergerak untuk lebih merenungi sikap mereka dalam menyikapi isu ini.
Namun, yang jelas, Sujiwo Tejo kembali membuktikan bahwa perspektif budaya bisa menjadi jembatan untuk memahami kerumitan sosial dengan cara yang jenaka dan mendalam.