Frensia.id –Sengketa tanah pemakaman di Dusun Krajan, Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, masih terus bergulir panas. Polemik yang mencuat sejak akhir 2024 itu akhirnya dibahas dalam rapat dengar pendapat di DPRD Banyuwangi, Selasa (29/4/2025)
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi I DPRD Banyuwangi, Marifatul Kamila, menghadirkan banyak pihak: perwakilan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Watukebo Bersatu, Kepala Desa Watukebo, Camat Blimbingsari, perwakilan ATR/BPN, Kemenag, sejumlah OPD, hingga pihak Yayasan Pendidikan Islam dan Sosial Darul Aitam Al Aziz selaku pemegang sertifikat wakaf.
Selama dua jam rapat berlangsung dalam suasana tegang. Namun hingga akhir pertemuan, mediasi belum menghasilkan titik temu.
“Karena buntu kami merekomendasikan untuk dilakukan mediasi lagi di Desa Watukebo dan waktunya menunggu dari pak Camat. Mediasi lanjutan ini wajib dilakukan,” ujar Marifatul Kamila.
Jika mediasi lanjutan tidak segera dilakukan, Komisi I menyarankan agar dilakukan peninjauan kembali terhadap sertifikat wakaf yang kini menjadi sumber sengketa.
Rifa, sapaan akrab Marifatul, menyebut akar permasalahan mulai terkuak. Berdasarkan data dari Kepala Desa dan buku kerawangan, lahan tersebut memang merupakan tanah makam desa.
“Bunyi pada kerawangan yang itu adalah dari BPN, bunyinya adalah tanah makam,” tegasnya.
Masalah muncul ketika tanah makam itu tiba-tiba diklaim sebagai milik pribadi, lalu diwakafkan dan terbit sertifikat atas nama yayasan.
“Tapi berdasarkan data yang ada tanah itu jelas tanah desa, di sini ada hal janggal dalam proses sertifikasi ini yang perlu diusut,” lanjut Rifa.
Abdul Hafidz, kuasa hukum warga, mendesak agar sertifikat wakaf Nomor 00037 dibatalkan. Ia menilai proses terbitnya sertifikat tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Atau opsi lainnya adalah sertifikat dialihkan, bukan lagi milik yayasan tapi menjadi milik takmir masjid Watukebo. Dikelola lagi oleh masyarakat. Kalau masih buntu, kami akan bawa persoalan ini ke ranah hukum. Kami menduga ada permainan mafia tanah dan itu juga yang kami laporkan,” tegas Hafidz.
Pihak yayasan tak tinggal diam. Ahmad Nur Roni Khoiron menyatakan bahwa penerbitan sertifikat dilakukan sesuai prosedur. Ia memastikan yayasan siap mengikuti proses hukum jika diperlukan.
“Kami siap mengikuti prosedur yang ada,” ujar Nur Roni.
Sebagai catatan, sertifikat wakaf atas nama yayasan terbit pada akhir 2024 dan menuai protes dari warga yang merasa lahan makam tersebut adalah milik desa.
Terlebih, dalam dokumen desa disebutkan luas tanah makam 2.562 m², namun di sertifikat hanya tercatat 1.649 m². Tercium adanya indikasi pengurangan luas dan dugaan keterlibatan mafia tanah dalam kasus ini.
Penulis : Qhobid Z